LANDASAN HUKUM ZAKAT
Landasan Hukum Zakat
A. Landasan Hukum Zakat
Kewajiban zakat merupakan salah satu rukun Islam yang ke tiga, dimulai sejak bulan Syawal tahun kedua hijriyah di Madinah. Zakat diwajibkan berdasarkan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama, yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an terdapat 32 buah kata zakat, bahkan sebanyak 82 kali diulang sebutannya dengan memakai kata-kata yang satu sinonim dengannya. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting.
Dari 32 kata zakat yang terdapat di dalam al-Qur’an, 29 diantaranya bergandengan dengan kata shalat.[1] Hal ini menunjukkan antara zakat dan salat merupakan kewajiban dalam satu paket, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan shalat melambangkan baiknya hubungan manusia dengan Tuhan, sedang zakat melambangkan kepedulian sosial dan harmonisnya hubungan manusia dengan sesamanya.
Kata zakat 9 kali diucapkan dalam kontek perintah yang mengiringi shalat, yaitu pada surah: al-Baqarah 43, 83 dan 110, al-Nisa’ 77, al-Hajj 78, al-Nur 56, al-Ahzab 33, al-Mujadalah 13, dan al-Muzammil 20.
Sedangkan pengertian zakat dengan menggunakan kata shadaqah sesuai dengan konteknya terdapat 2 ayat, yaitu dalam surah al-Taubah ayat 60 dan 103, yang menggunakan kata Ita' al-haq satu kali, yaitu dalam surah al-Taubah ayat 141, dan penjelasan umum bahwa kewajiban tersebut atas kelebihan, al-afwu, yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 219.
Nash al-Quran tentang zakat diturunkan dalam dua periode, yaitu:
a. Periode Mekkah, dalam tahap ini perintah zakat baru merupakan anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Di antara ayat al-Qur’an yang menyebutkannya yaitu surat al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (البينة: 5)
“Hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan itulah agama yang lurus”.
Surat al-Muzammil ayat 20:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضً ا حَسَنًا (المزمل: 20)
“Dirikan shalat dan tunaikan zakat dan berilah piutang kepada Allah dengan sebaik-baik piutang”
b. Periode Madinah, dalam tahap ini perintah zakat telah menjadi kewajiban mutlak (ilzami). Ayat-ayat zakat dalam periode ini terdapat di dalam berbagai surat diantaranya surat al-Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (البقرة: 43)
“Dirikan shalat dan tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku".
Surat al-Maidah ayat 12
...لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَءَاتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَءَامَنْتُمْ بِرُسُلِي...(المائدة: 12)
“... Jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan kamu beriman kepada Rasul-Ku ...”.
2. Hadits Nabi SAW
Dalil yang berasal dari Sunnah Rasul SAW banyak sekali yang menceritakan tentang perintah zakat ini, baik yang langsung diungkapkan dengan menggunakan kata zakat ataupun dengan kata shadaqah. Namun yang jelas kata shadaqah dengan makna zakat banyak ditemukan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW, sedangkan kata zakat sering digunakan oleh Rasulullah SAW ketika menjelaskan tentang zakat fitrah.[2]
Diantara Hadits-hadits yang mengungkap tentang zakat ini adalah:
عَنْ ابْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ. [3]
“Dari Ibn Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: Islam didirikan dari lima sendi: Mengaku bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Allah SWT dan bahwasanya Muhammad SAW itu adalah utusan Allah SWT, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan suci Ramadhan”.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ... [4]
"Dari Ibn Abbas r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: ... Sesungguhnya Allah SWT memfardhukan atas mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang kaya diantara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka ...”.
3. Ijma' Ulama
Dalil yang berupa Ijma’ adalah adanya kesepakatan semua (ulama) umat Islam diseluruh negara bahwa zakat adalah wajib dikeluarkan, bahkan para sahabat Nabi Muhammad SAW sepakat untuk memerangi orang-orang yang ingkar dan enggan untuk mengeluarkan zakat.[5]
B. Syarat-syarat Zakat
Syarat-syarat dalam zakat ada dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat-syarat wajib ialah yang berkaitan dengan orang yang wajib mengeluarkan zakat dan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Sedangkan syarat sah adalah niat dan tamlik. Rincian dari penjelasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Syarat-syarat orang yang wajib mengeluarkan zakat
Para ulama fikih membuat batasan syarat orang yang wajib mengeluarkan zakat dengan berbagai definisi. Salah satunya sebagaimana yang dinjelaskan Ibnu Rusyd: “Dan adapun orang-orang yang wajib berzakat, telah sepakat para ahli fikih bahwa orang itu adalah Islam, merdeka, baligh, berakal, dan memiliki nisab dengan milik yang sempurna”.[6]
Imam al-Syafi'i tidak membuat rumusan tentang syarat orang yang wajib mengeluarkan zakat, pada suatu bagian ia menjelaskan bahwa sedekah (zakat) wajib atas setiap pemilik harta dengan kepemilikan sempurna, dari mereka yang merdeka (bukan hamba sahaya), meskipun ia masih kanak-kanak, cacat, atau wanita.[7]
Pada bagian lain ia menyatakan bahwa kewajiban zakat tersebut atas seluruh orang yang merdeka dan muslim, termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan.[8] Dari kedua pernyataan tersebut, menurutnya, bahwa zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka dan memiliki harta secara sempurna. Orang non muslim tidak bukan merupakan hutang yang harus dibayar seandainya dia masuk Islam.
2. Syarat-Syarat Harta Yang Wajib Dizakatkan
Ketentuan tentang harta yang wajib dizakatkan tidak hanya dilihat dari jumlah nisabnya saja, akan tetapi harus dilihat juga kebutuhan seseorang terhadap harta itu, seumpama rumah tempat tinggal, pakaian yang dipakai, buku-buku yang disimpan untuk dibaca, peralatan rumah tangga. Kalau dihitung jumlahnya melebihi dari jumlah nisab, apakah benda itu juga wajib dizakatkan?.
Seseorang yang punya unta 2 ekor, beberapa ekor kambing, atau petani yang mempunyai penghasilan 1 atau 2 kwintal sekali panen, yang hanya mampu sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari atau seorang pedagang yang mempunyai uang lebih dari senisab, tetapi dia banyak hutang, apakah juga dikenakan kewajiban zakat?. Keadilan yang diajarkan dalam Islam dan prinsip keringanan yang terdapat dalam ajaran Islam tidak mungkin akan membebani orang-orang yang terkena kewajiban melaksanakan sesuatu yang tidak mampu dilaksanakannya dan menjatuhkan kedalam kesulitan, sebagaimana firman dalam surah al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi:
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ... (البقرة: 286)
“Allah SWT tidak akan memberatkan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya, ia akan mendapat siksa dari kejahatan yang telah dikerjakannya”.[9]
Untuk menentukan kekayaan yang kena kewajiban zakat harus diberi batasan tentang sifat kekayaan itu dan syarat-syaratnya sebagai berikut:
a. Milik Penuh
Kekayaan pada dasarnya adalah milik Allah SWT. Allah SWT menegaskan bahwa kedudukan manusia terhadap harta kekayaan adalah sebagai penguasa atau penyimpan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Hadid ayat 7 yang berbunyi:
...وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ...(الحديد: 7)
“...nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah SWT telah menjadikan kamu sebagai penguasanya…”
Yang dimaksud dengan pemilikan manusia terhadap harta bukanlah kepemilikan secara mutlak atau sesungguhnya, karena pemilik secara mutlak itu adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia ini hanyalah merupakan penyimpan, pemakai dan pemberi wewenang yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Oleh karena itu, pengertian pemilikan sesuatu oleh manusia itu ialah bahwa manusia itu lebih berhak menggunakan dan mengambil manfaat sesuatu daripada orang lain. Hal itu diperoleh dengan jalan menguasai sesuatu melalui cara pemilikan yang legal, misalnya dengan bekerja, berhutang, mendapat warisan dan lain-lain. Kepemilikan seperti itu harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai pemilik yang hakiki.
Adapun tentang pengertian pemilikan penuh adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan kekuasaanya, atau seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli fikih, bahwa kekayaan itu harus berada ditangannya, tidak tersangkut didalamnya hak orang lain, sebaliknya tidak pula hartanya yang sedang berada di tangan orang lain, ia dapat menggunakannya dan faedahnya dapat dinikmatinya.[10]
Dalam sistem ekonomi pada era modern ini kepemilikan penuh tidak harus dalam arti bahwa harta tersebut harus berada di tangan pemiliknya secara langsung, harta yang berbentuk nilai dan diletakkan di institusi keuangan seperti perbankan dalam bentuk rekening, giro, dan bahkan deposito dapat dinyatakan sebagai harta dengan kategori milik penuh.
Hikmah ditetapkan syarat milik penuh terhadap harta yang akan dizakatkan adalah karena pemilikan merupakan nikmat yang sangat besar sekali, buah kemerdekaan, bahkan buah kemanusiaan, oleh karena itu, binatang tidak memiliki, tetapi manusialah yang memilikinya. Dan karena pemilikan itulah yang membuat manusia merasakan kelebihan diri dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari apa yang dimilikinya. Pemilikan penuh itulah yang membuat manusia dapat menggunakan, menanam, dan mengembangkan kekayaan sendiri atau oleh orang lain. Nikmat besar yang diberikan itu membuat manusia harus berterima kasih, dan oleh karenanya wajar apabila hukum Islam mewajibkan pemiliknya untuk berzakat dan mengeluarkan hak orang lain dari kekayaan yang dimilikinya itu.
Sehubungan dengan syarat milik penuh (milk al-tam) yang merupakan salah satu syarat utama dalam zakat adalah kekayaan yang dimiliki secara penuh (sempurna), yaitu harta yang materi dan manfaatnya digunakan langsung oleh pemiliknya. Oleh karenanya, kekayaan yang sedang disewakan, misalnya, adalah harta kekayaan yang tidak termasuk dalam kriteria milik penuh (milk al-tam). Karena pada satu sisi harta tersebut materinya dimiliki oleh yang menyewakan (malik al-raqabah) dan pada sisi lain manfaat harta tersebut sedang dimiliki oleh orang yang menyewa (malik al-manfaah).
Dalam kaitannya dengan milk al-raqabah dan milk al-manfa'ah bahwa pemiliknya pada waktu tertentu tidak memenuhi syarat milik sempurna dan tidak dikenakan wajib zakat, namun pada waktu-waktu tertentu ia juga dikenakan wajib zakat terhadap barang sewaannya itu bila hasil sewa menyewa dari barang sewaan tersebut dibayar dan mencapai nisab harta kekayaan yaitu nisab emas dan perak (2,5 %), waktu mengeluarkannya sama dengan zakat pertanian, yaitu kapan mencapai nisab, tanpa adanya haul.
Demikian pula dengan syarat milik penuh ini, maka kekayaan yang tidak mempunyai pemilik tertentu tidak wajib dizakatkan, seperti kekayaan pemerintah yang berasal dari zakat dan pajak, karena kekayaan ini tidak ada pemilik tertentunya. Ia adalah milik seluruh rakyat termasuk didalamnya orang miskin. Dan juga karena pemerintahlah yang bertanggung jawab memungut zakat.
Tanah wakaf dan sejenisnya yang diberikan kepada fakir miskin, masjid dan sekolah, pejuang atau lembaga sosial lainnya itu tidak wajib zakat. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa “Apabila diwakafkan untuk orang-orang miskin, maka tidak dikenakan zakat. Bagi orang yang mewajibkannya, maka zakat itu tidak mempunyai arti, sebab dalam hal ini ada dua hal yang berkumpul, yaitu:
1) Hak milik yang tidak penuh.
2) Mewajibkan zakat atas orang-orang yang tertentu dari golongan yang menerima zakat, bukan dari golongan yang berkewajiban mengeluarkan zakat.[11]
Kekayaan yang samar-samar atau dalam keraguan juga tidak wajib dizakatkan, seperti harta yang tercecer dan tidak diketahui tempatnya, harta yang hilang, harta yang terkubur/terpendam yang tidak tahu lagi dimana tempatnya.
b. Berkembang
Ketentuan tentang kekayaan yang wajib dizakatkan ialah kekayaan yang dikembangkan dengan sengaja atau mempunyai potensi untuk berkembang. Pengertian berkembang menurut bahasa adalah sifat kekayaan itu dapat memberikan keuntungan, atau pendapatan, keuntungan investasi, ataupun pemasukan, sesuai dengan istilah yang dipergunakan oleh ahli perpajakan. Ataupun kekayaan itu berkembang dengan sendirinya artinya bertambah dan menghasilkan produksi.[12]
Menurut ahli fikih, “berkembang” (nama’) menurut istilahnya berarti bertambah, pengertian ini yang terpakai di sini terbagi dua, yaitu bertambah secara kongkrit dan bertambah secara tidak kongkrit. Bertambah secara kongkrit adalah bertambah akibat pembiakan, perdagangan dan sejenisnya. Sedangkan bertambah tidak secara kongkrit adalah kekayaan itu berpotensi untuk berkembang, baik berada ditangannya maupun ditangan orang lain atas namanya.[13]
Berkembangnya kekayaan itu karena diusahakan, seperti ternak berkembang dengan usaha, karena dirawat, melahirkan dan menghasilkan susu. Harta perdagangan berkembang karena diusahakan, menghasilkan laba, dan memberikan lapangan pekerjaan, Uang juga merupakan lambang barang, alat perantara transaksi dan ukuran harga sesuatu. Bila uang itu diinvestasikan pada industri, perdagangan, dan yang sejenisnya, maka uang itu akan memberikan keuntungan, dan keuntungan itulah yang dimaksud disini dengan berkembang.
Pengertian kata zakat yang kuat menurut bahasa adalah berkembang. Karena kekayaan yang dizakatkan itu akhirnya akan mendapatkan berkah dan berkembang sesuai dengan janji Allah SWT dalam surah al-Rum ayat 39 yang berbunyi:
وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم: 39)
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah SWT, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya”.[14]
Zakat itu hanya wajib dikeluarkan dari kekayaan yang berkembang atau berpotensi untuk berkembang, materi yang bernilai ekonomis. Oleh karena itu harta untuk kepentingan pribadi yang tidak mempunyai potensi untuk berkembang atau tidak bernilai ekonomis tidak wajib bagi pemiliknya untuk menzakatkannya, seperti rumah tempat tinggal, perabotan rumah tangga, peralatan untuk bekerja dan lain sebagainya.
Berkembang adalah kata kunci yang membedakan antara harta yang terkena dan yang tidak terkena wajib zakat. Rumah tempat tinggal, misalnya, apabila hanya didiami oleh pemiliknya maka ia tidak mempunyai sifat berkembang yang karenanya tidak wajib zakat, meskipun jumlah rumah tempat tinggal seseorang tersebut lebih dari satu. Apabila rumah tempat tinggal seseorang juga terdapat ruang atau kamar yang dikontrakkan, maka kontrakan tersebut sifatnya berkembang dan karenanya ada kewajiban zakat atas hasil kontrak tersebut, bukan atas nilai rumah.
c. Cukup Senisab
Islam mewajibkan zakat terhadap harta yang berkembang, memberikan ketentuan tentang ukuran atau jumlah harta yang disebut dalam hukum Islam dengan istilah nisab sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnahnya.[15]
Ketentuan nisab harta yang wajib dikeluarkan zakatnya terdapat dalam Hadits Nabi SAW dan harta yang kurang dari senisab itu tidak wajib zakat, misalnya seseorang mempunyai unta dibawah lima ekor dan empat puluh ekor kambing, demikian juga 200 dirham uang perak dan dibawah 500 wasaq bijian atau hasil pertanian.
Syekh besar Dahlawi berkata dalam menjelaskan hikmah besar nisab itu sebagai berikut: Bahwa ditetapkannya lima kwintal bijian dan kurma itu sesuai dengan kebutuhan minimal kebutuhan rumah tangga selama setahun. Hal itu oleh karena rumah tangga minimal terdiri dari suami, isteri, seorang pembantu atau seorang anak mereka dan besar kebutuhan makanan pokok seseorang adalah satu kati atau satu gantang beras, yang apabila mereka masing-masing makan sebanyak itu diperkirakan jumlah tersebut cukup bagi mereka untuk satu tahun dan lebihnya biar untuk lauk-pauknya atau untuk simpanan. Uang perak ditetapkan 200 dirham, oleh karena besar jumlah itu juga diperkirakan cukup bagi kebutuhan minimal rumah tangga setahun penuh, bila harga tidak naik dan yang menjadi patokan adalah harga yang berlaku di negara-negara yang harganya stabil.[16]
Hikmah adanya ketentuan nisab itu jelas sekali, bahkan zakat merupakan pemberian harta dari orang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin dan turut berpartisipasi untuk mewujudkan kesejahteraan umat Islam. Oleh karenanya zakat diambil dari harta orang-orang kaya (mampu) memikul beban kewajiban zakat, bukan dari masyarakat miskin, karena mereka perlu dibantu. Rasulullah SAW bersabda:
...عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ بِذَلِكَ فَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ.[17]
“Dari Abdullah bin Abbas r.a dia berkata, bahwa Rasulullah SAW berkata: ...sesungguhnya Allah SWT memfardhukan atas mereka zakat yang diambil dari orang kaya diantara kamu dan diberikan kepada orang-orang fakir, apabila mereka mematuhimu maka waspadalah terhadap doa orang yang dizalimi”.
Para ulama pada umumnya mengklasifikasi strata perekonomian masyarakat muslim dengan dua kategori, yaitu para wajib zakat (Muzakki) yang masuk dalam kelompok orang kaya dan golongan yang berhak menerima zakat (Mustahiq al-Zakah). strata ekonomi masyarakat muslim tersebut lebih tepat apabila dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1) Kategori pertama adalah orang yang wajib mengeluarkan zakat dan dalam kondisi normal ia tidak berhak menerima zakat, kecuali dalam waktu-waktu tertentu, seperti ketika ia termasuk dalam 'amil zakat atau termasuk dalam fi sabilillah maupun ibnu sabil.
2) Kategori ketiga adalah orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat dan bahkan berhak menerima zakat. Mereka ini adalah orang yang masuk dalam kategori delapan golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakah).
Ada dua model pandangan ekonomi dimasyarakat yaitu yang mengarah pada pandangan monokultur ekonomi, dimana setiap petani atau peternak hanya menangani dan menjalani satu bidang usaha, kambing, sapi, atau unta saja. Konsekwensi dari pola pandang monokultur ekonomi ini ialah apabila seseorang memiliki 38 ekor kambing, 28 ekor sapi, dan 4 ekor unta, maka peternak tersebut tidak terkena wajib zakat karena tidak satu jenis pun hewan ternaknya yang telah mencapai nisab. Dalam masyarakat dengan pandangan multikultur ekonomi, maka pola pandang di atas kurang tepat karena meskipun setiap jenis hewan yang dimiliki tidak mencapai nisab namun dari sisi kepemilikan dan nilai harta kekayaan yang dimiliki orang tersebut jauh lebih banyak dari seseorang yang hanya memiliki 50 ekor kambing saja dan wajib atasnya zakat. Karenanya, menurut penulis pengukur batas minimal wajib zakat, nisab, bukan hanya nisab saja, tetapi juga dapat diukur dengan kategori kaya, yaitu seseorang memiliki varian harta yang kalkulasinya lebih dari batas minimal.
d. Haul
Imam al-Syafi'i di dalam kitab al-Umm nya tidak menggunakan istilah nisab untuk batas minimal harta yang wajib dizakatkan, ia langsung menyebutkan nilai minimal dari masing-masing harta yang wajib dizakatkan tersebut dan nilai zakat yang wajib dikeluarkan. Kewajiban tersebut baru berlaku setelah harta dimaksud tetap berada di atas batas minimal sepanjang satu tahun penuh/haul.[18]
e. Lebih Dari Kebutuhan Pokok
Diantara ulama-ulama fikih, ada yang menambah ketentuan nisab kekayaan yang berkembang itu dengan lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Pendapat ini tampaknya dikembangkan dan dipopulerkan oleh Sayyid Sabiq, sedangkan para imam mazhab dan fuqaha masa lalu hanya menggunakan peristilahan mencapai nisab dan haul. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa yang menyebabkan seseorang wajib mengeluarkan zakat adalah kemapanannya secara ekonomis, hal ini dibuktikan dengan kemampuannya memiliki harta sebatas nisab atau lebih sepanjang satu tahun (haul)[19].
Menurut Ibn Rusyd bahwa tidak masuk dalam perhitungan (hasil pertanian dan perkebunan yang telah dikonsumsi oleh pemiliknya sebelum masa panen dalam kalkulasi nisab), dan petugas zakat yang melakukan perkiraan (perhitungan), membiarkan untuk pemiliknya apa yang telah dimakannya dan keluarganya”.[20]
Sayyid Sabiq mensyaratkan bahwa harus berlebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok atau vital bagi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sarana untuk mencari nafkah”.[21] Termasuk dalam kategori kebutuhan dan tidak dikeluarkan zakatnya ialah perhiasan wanita dalam bentuk emas dan perak dalam jumlah yang pantas. Manakala perhiasan tersebut berlebih dari jumlah kepantasan, maka kelebihannya tersebut harus dimasukkan dalam hitungan harta yang wajib dizakatkan.[22]
Yang dikatakan kebutuhan pokok adalah sesuatu yang tidak dapat tidak dan harus ada untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sayyid Sabiq di atas yang mencakup sandang, pangan dan peralatan yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari, seperti buku bagi pencinta ilmu pengetahuan, perabot rumah tangga dan alat-alat yang dipakai dalam rangka untuk mencari nafkah serta biaya yang dipergunakan untuk pendidikan.
Suatu hal menarik, yang perlu dicatat dan dihargai dari para ulama fikih adalah mereka menilai ilmu pengetahuan itu sama dengan kehidupan sedangkan kebodohan itu sama dengan ajal dan kehancuran. Keperluan untuk memerangi kebodohan bagi mereka sama dengan kebutuhan primer, seperti makanan pokok untuk menghilangkan lapar dan pakaian untuk menjaga tubuh dari telanjang dan penyakit.[23]
Yang perlu diperhatikan bahwa kebutuhan pokok manusia itu tidak dapat ditentukan jumlah, nilai (harga) dan macam-macamnya, karena hal itu sangat relatif, tergantung pada kebiasaan masing-masing individu (المعتادة), berubah-ubah, berkembang, sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman, situasi serta kondisi setempat. Yang menjadi tekanan di sini adalah kebutuhan pokok orang yang terkena kewajiban zakat, serta kebutuhan orang-orang yang dibawah tanggungannya, seperti isteri, anak-anak, orang tua dan anggota keluarga lainnya yang harus ditanggungnya, seperti pramuwisma, kerabat karib, anak asuh dan lain sebagainya.
Dalil yang menyatakan harta yang dizakatkan itu harus lebih dari kebutuhan pokok antara lain adalah Hadits yang telah disebutkan terdahulu yang menyatakan bahwa zakat dibebankan kepada orang-orang yang kaya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi:
...وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (البقرة: 219)
“…dan mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan, katakanlah yang lebih dari kebutuhan, demikianlah Allah SWT menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berpikir”.[24]
Dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan pula, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan seseorang, isteri dan anaknya lebih didahulukan dari kebutuhan orang lain, Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW, berkata kepada seorang laki-laki:
...ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ... [25]
“... Berikan terlebih dahulu untuk kepentingan dirimu, bila lebih berikanlah kepada keluargamu, bila lebih berikanlah kepada kerabat terdekatmu, bila masih lebih lagi berikanlah kepada orang yang lain, yaitu para tetanggamu ...”.
Sebagaimana juga ia menganjurkan untuk tidak terlalu ketat dalam melakukan penaksiran, yaitu:
عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال خففوا في الخرص فإن في المال العرية والواطية والأكلة والوصية والعامل والنوائب. [26]
"Diriwayatkan dari Jabir r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: peringanlah olehmu dalam melakukan perkiraan, karena pada harta tersebut ada yang rontok, rusak, dimakan, diwasiatkan, amil, dan perwakilan ”.
Sedangkan menurut beberapa ulama fikih lainnya, di antaranya Imam Malik dan Abu Hanifah, sebagaimana yang tertera dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid: "Imam Malik dan Abu Hanifah sependapat bahwa hasil pertanian dan perkebunan yang telah dikonsumsi oleh pemiliknya sebelum masa panen wajib diperhitungkan dalam kalkulasi nisab...".[27]
f. Bebas Dari Hutang
Pemilikan sempurna yang menjadi persyaratan wajib zakat, disamping lebih dari kebutuhan pokok yang mencukupi senisab, juga bebas dari hutang. Bila pemilik mempunyai hutang yang menghabiskan atau mengurangi jumlah senisab, maka belumlah kena kewajiban zakat. Baik hutang itu kepada sesama manusia maupun hutang kepada Allah SWT, seperti: haji, nazar, wasiat, maka hutang itu harus dilunasi terlebih dahulu, kemudian sisanya, jika masih cukup senisab, maka harus dikeluarkan zakatnya.[28]
Sayyid Sabiq mengemukakan: “Orang-orang yang memiliki kekayaan yang wajib dizakatkan, sedangkan ia mempunyai hutang, maka harus dikeluarkan sebanyak jumlah hutang dan sisanya dikeluarkan zakatnya apabila sampai senisab. Jika tidak cukup senisab lagi, maka tidak wajib baginya untuk berzakat, karena dia termasuk dalam keadaan fakir, masalah hutang kepada Allah SWT atau kepada manusia itu sama saja”.[29]
Dalam kitabnya, Ibnu Rusyd mengemukakan perbedaan pendapat para fuqaha’ tentang si pemilik harta yang mempunyai hutang, yaitu sebagai berikut:
1) Pendapat Al-Tsauri, Abu Tsaur, Ibnu al-Mubarak dan golongan yang lain mengatakan bahwa tidak diwajibkan zakat, kecuali apabila hutangnya sudah dapat dilunasi. Kalau harta kelebihannya masih sampai senisab, maka ia harus mengeluarkannya.
2) Abu Hanifah dan sahabatnya: “hutang tidak menghalangi zakat”
3) Imam Malik: “Hutang hanya menghapuskan zakat harta kontan saja, akan tetapi apabila si pemilik-pemiliknya mempunyai harta dagangan yang bisa menutupi hutangnya, maka zakatnya tidak terhapus karena hutangnya.
4) Pendapat fuqaha’ lain: “Bagaimanapun juga hutangnya, namun ia tidak menghapuskan kewajiban zakat”.[30]
5) Pendapat Imam al-Syafi'i bahwa orang tersebut diwajibkan untuk membayar hutang terlebih dahulu, dan tidak diwajibkan zakat, kecuali apabila hutangnya sudah dapat dilunasi dan harta kelebihannya masih sampai senisab, maka ia harus mengeluarkannya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Rabi'.[31]
Perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan karena berbeda pandangan, apakah zakat itu ibadah ataukah kewajiban yang dikenakan terhadap harta untuk orang-orang miskin. Bagi mereka yang berpendapat bahwa zakat merupakan hak orang miskin, maka mereka mengatakan terhadap harta orang-orang yang mempunyai hutang tidak diwajibkan zakat padanya, karena hak orang yang mempunyai hutang lebih didahulukan dari orang miskin, karena pada hakekatnya harta tersebut menjadi milik penagihnya (yang mempiutangnya), bukan milik orang yang sedang menguasainya.
Para fuqaha’ berpendapat bahwa zakat itu adalah suatu ibadah, maka mereka mengatakan bahwa yang terkena kewajiban zakat ialah orang yang sedang menguasai harta. Ditambah lagi dalam hal ini terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu hak Allah SWT dan hak manusia, hak Allah SWT lebih utama untuk dipenuhi.[32]
Perbedaan pendapat di atas sangat dipengaruhi oleh sisi pandang masing-masing ulama tentang: milik penuh, zakat kewajiban atas harta, dan sisi pandang bahwa zakat merupakan suatu ibadah. Dari sisi kepemilikan penuh maka baik yang berhutang maupun yang berpiutang tidak dikenakan wajib zakat karena mereka sama-sama tidak memenuhi kriteria milik penuh.
Menurut penulis dalam kaitan harta piutang ini harus dilihat dari sifat kegunaan harta yang dihutang tersebut, apabila yang berhutang memakai harta tersebut untuk kebutuhan pokok maka tidak dikenakan zakat, tetapi jika harta tersebut digunakan sebagai modal usaha maka wajib dikeluarkan zakatnya oleh si peminjam bukan oleh yang meminjamkan.
Prinsip ini juga berlaku pada modal usaha yang diperoleh dari pinjaman Bank. Seseorang yang membuka usaha dengan modal pinjaman dari Bank dengan masa angsuran selama 5 tahun, misalnya, ia wajib mengeluarkan zakatnya apabila memenuhi nisab setelah membayar tagihan perbulan yang telah jatuh tempo, bukan melunasi seluruh hutangnya.
3. Syarat-syarat Sah Pelaksanaan Zakat
Syarat-syarat sahnya pelaksanaan zakat itu ada dua macam, yaitu:
a. Niat
Zakat merupakan ibadah seperti halnya shalat dan setiap ibadah harus dilaksanakan dengan niat. Para fuqaha’ sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya pelaksanaan zakat, pendapat ini berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi:
عن عمر بن الخطاب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنما الأعمال بالنية. [33]
“Dari Umar ibn Khattab, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya setiap pekerjaan itu harus dimulai dengan niat”.
Oleh karena itu, agar zakat yang ditunaikan itu dapat diterima oleh Allah SWT dengan baik, maka zakat diperlukan adanya niat untuk membedakan antara ibadah yang wajib dan yang sunat. Adapun hakekat niat menurut Sayyid Sabiq adalah “kehendak hati menuju perbuatan, karena mengharapkan mardhatillah” atau “perbuatan hati semata, tidak urusan dengan lisan padanya dan tidak perlu diucapkan”.[34]
Mengenai niat ini, para fuqaha’ merincinya sebagai berikut:
1) Menurut mazhab Hanafi adalah zakat tidak boleh dikeluarkan kecuali disertai dengan niat yang dilakukan dengan pemberiannya kepada orang-orang fakir. Oleh karena itu, niat dipandang cukup dilakukan ketika harta tersebut dilepaskan dari pemiliknya. Hal seperti ini dimaksudkan untuk mempermudah para muzakki, sebagaimana halnya mendahulukan niat dalam puasa.
2) Menurut mazhab Maliki bahwa niat disyaratkan dalam zakat sewaktu harta diserahkan kepada mustahiq, niat yang dilakukan oleh imam atau orang yang menempati posisinya, sudah dipandang cukup untuk muzakki.
3) Menurut mazhab Syafi’i bahwa niat wajib dilakukan dalam hati. Ia tidak disyaratkan untuk diucapkan dengan lisan. Niat juga sudah dipandang sah, ketika ia lakukan setelah harta itu dilepaskan dan belum dipisahkan, kendatipun niat tersebut tidak menyertai salah satu dari keduanya (pelepasan harta dan pemisahannya).
4) Menurut mazhab Hanbali bahwa niat adalah menyatakan sebuah tekad bahwa harta yang dizakati itu adalah zakat yang dikeluarkan oleh diri sendiri atau zakat yang dikeluarkan dari orang yang diwakili. Niat tempatnya dihati, sebab semua pernyataan tekad tempatnya dihati. Oleh karena itu, niat boleh didahulukan dari waktu pelaksanaannya, dengan catatan jarak waktunya tidak terlalu lama, seperti halnya ibadah-ibadah lainnya.[35]
b. Tamlik (Pemindahan kepemilikan harta kepada penerimanya)
Tamlik menjadi syarat sahnya pelaksanaan zakat, yaitu harta zakat diberikan kepada para mustahiq. Dengan demikian, seseorang tidak boleh memberikan zakatnya, kecuali dengan jalan tamlik. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:
...وَإِقَامَ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ...(الأتبياء: 73 و النور: 37)
"...dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat…".[36]
Yang dimaksud dengan al-‘ita dalam ayat di atas adalah tamlik.[37]
[1]Abdurrahman Qadir, Zakat (dalam dimensi mahdhah .., h. 43.
[2]Hadits-hadits tentang kewajiban zakat ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalur sanad yang lain, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abu Ayyub, dll. Selain itu juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad. Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid IV, h. 4. Lihat juga: Ibnu Daqiqi al-‘Id, Ihkam al-Ahkam Syarah Umdah al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Jilid I, h. 182.
[3]Lihat: Muslim, Shahih Muslim, h. 683.
[4]Syaukani, Nail al-Authar, Jilid IV, h. 170.
[5]Abu Bakar r.a, diawal pemerintahannya, terpaksa memerangi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat kepada petugas yang dikirimnya. Abu Bakar menyatakan “Demi Allah akan aku perangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat”. Lihat Yasin Ibrahim al-Syaikh, Zakat, The Third Pillar of Islam, (alih bahasa) Wawan S. Husin, Cara Mudah Menunaikan Zakat: Membersihkan Kekayaan Menyempurnakan Puasa Ramadhan, (Bandung: Pustaka Madani, 1997), h. 133.
[6]Ibnu Rusyd: وأما على من تجب فإنهم اتفقوا على كل مسلم حر بالغ عاقل مالك للنصاب ملكا تاما, Lihat: Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-fikr, tt), Juz I, h. 196.
[7]Muhammad ibn Idris al-Syafi'i: وتجب الصدقة على كل مالك تام الملك من الأحرار وإن كان صبيا أو معتوها أو امرأة لا افتراق في ذلك بينهم, lihat: al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983/1393), Juz II, h. 27.
[8]Ibn Idris al-Syafi'i, al-Umm, Juz II, h. 28.
[9]Al-Qur’an Digital, al-Baqarah : 286
[10]Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 127.
[11]Ibnu Rusyd : Bidayah al-Mujtahid.., Juz I, h. 198.
[12]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 128-130.
[13]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 128-130.
[14]Al-Qur’an Digital, ar-Rum: 39.
[15]Sayyid Sabiq: تجب الزكاة على المسلم الحر المالك النصاب من أي نوع من أنواع المال الذى تجب فيه الزكاة,
[16]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h.149.
[17]Lihat: Mausu'ah al-Hadits al-Syarif, Sunan al-Nasa'i, Kitab: al-Zakat, Bab: Wujub al-Zakat, hadits nomor: 2392.
[18]Lihat: al-Syaibani, al-Hujjah Ala Ahl al-Madinah., h. 16.
[19]Al-Ghazali: (وأما صفة الواجب وقدره فيتبين ببيان مقادير النصاب). Lihat: al-Wasith fi al-Madzhab, op.cit., juz II, h. 400.
[20]Ibnu Rusyd: لا يحسب عليه (على الرجل ما أكل من ثمره وزرعه قبل الحصاد في النصاب) ويترك الخارص لرب المال ما ياكل هو واهله, Lihat Bidayatul Mujtahid., h. 195
[21]Sayyid Sabiq: ان يكون فا ضلا عن الحا جا ت الضرورية التي لاغني للمرء عنها كالطعام والملبس و المسكن و المر كب و آلات الحر فة
[22]Pada masa silam, emas dan perak adalah alat tukar resmi bagi transaksi ekonomi, alat tukar dalam bentuk emas dinamakan Dinar dan alat tukar dalam bentuk perak dinamakan Dirham. Kedua materi itu juga dipakai oleh para wanita sebagai perhiasan. Dengan demikian pembeda antara alat transaksi dan perhiasan hanya pada fungsi sesaat, sementara setelah alat tukar transaksi diganti dengan uang maka perbedaan antara harta kekayaan dan perhiasan yang jelas.
[23]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 154.
[24]Al-Qur’an Digital, al-Baqarah: 219.
[25]Muslim, Shahih Muslim., Jilid VII, h. 83. Lihat pula: Mausu'ah al-Hadits al-Syarif, Shahih Muslim, Kitab: al-Zakah, Bab: al-Ibtida' fi al-Nafaqah bi al-Nafs tsumma al-Ahl tsumma al-qaraba, hadits nomor 1663.
[26]Quthni, Sunan al-Dar Quthni, Juz II, h. 85. Lihat juga: Yusuf ibn Abdullah Ibn Abd al-Birr al-Numari, al-Tamhid lima fi al-Muwaththa' min al-Ma'ani wa al-Asanid, (Maroko: Wizarah Umum al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah, 1387), tahqiq: Musthafa ibn Ahmad al-Alawi dan Muhammad Abd al-Kabir al-Bakri, Juz VI, h. 472.
[27]Ibnu Rusyd: ...فإن مالكا وأبا حنيفة قالا يحسب على الرجل ما أكل من ثمره وزرعه قبل الحصاد في النصاب..., Bidayatul Mujtahid.., h. 195.
[28]H.M. Syukri Ghazali, dkk, Pedoman Zakat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1991), h. 83.
[29]Sayyid Sabiq: من كان في يد ه مال تجب الزكاة فيه, وهو مد ين اخرج منه ما يفي بد ينه وزكي الباقي ان بلغ نصابا. وان لم يبلغ النصاب فلا زكا ة فيه, لانه في هذه الحالة فقير... ويستوى في ذ لك الد ين الذى عليه لله وللعبا د.,
[30]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 196.
[31]Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, أعلم أن يكون إنما أمر بقضاء الدين قبل حلول الصدقة في المال في قوله هذا شهر زكاتكم يجوز أن يقول هذا الشهر الذي إذا مضى حلت زكاتكم كما يقال شهر ذي الحجة وإنما الحجة بعد مضى أيام منه Lihat: al-Umm, Juz II, h. 50.
[32]Syafi'i, al-Umm, Juz II, h. 179.
[33]Muslim, Shahih Muslim., Juz III, h. 1515.
[34]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 38.
[35]Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islami wa ‘Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Jilid II, h. 250-252.
[36]Al-Qur’an Digital, al-Anbiya’: 73 dan an-Nur: 37.
[37]Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islami wa ‘Adillatuhu , h. 252 – 253. Lihat pula: Muhammad ibn Bakr, al-Bahr al-Ra'iq Syarh Kanz al-Daqaiq, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt.), juz II, h. 216.
A. Landasan Hukum Zakat
Kewajiban zakat merupakan salah satu rukun Islam yang ke tiga, dimulai sejak bulan Syawal tahun kedua hijriyah di Madinah. Zakat diwajibkan berdasarkan dalil dari al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama, yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an terdapat 32 buah kata zakat, bahkan sebanyak 82 kali diulang sebutannya dengan memakai kata-kata yang satu sinonim dengannya. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting.
Dari 32 kata zakat yang terdapat di dalam al-Qur’an, 29 diantaranya bergandengan dengan kata shalat.[1] Hal ini menunjukkan antara zakat dan salat merupakan kewajiban dalam satu paket, antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Pelaksanaan shalat melambangkan baiknya hubungan manusia dengan Tuhan, sedang zakat melambangkan kepedulian sosial dan harmonisnya hubungan manusia dengan sesamanya.
Kata zakat 9 kali diucapkan dalam kontek perintah yang mengiringi shalat, yaitu pada surah: al-Baqarah 43, 83 dan 110, al-Nisa’ 77, al-Hajj 78, al-Nur 56, al-Ahzab 33, al-Mujadalah 13, dan al-Muzammil 20.
Sedangkan pengertian zakat dengan menggunakan kata shadaqah sesuai dengan konteknya terdapat 2 ayat, yaitu dalam surah al-Taubah ayat 60 dan 103, yang menggunakan kata Ita' al-haq satu kali, yaitu dalam surah al-Taubah ayat 141, dan penjelasan umum bahwa kewajiban tersebut atas kelebihan, al-afwu, yaitu dalam surah al-Baqarah ayat 219.
Nash al-Quran tentang zakat diturunkan dalam dua periode, yaitu:
a. Periode Mekkah, dalam tahap ini perintah zakat baru merupakan anjuran untuk berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Di antara ayat al-Qur’an yang menyebutkannya yaitu surat al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (البينة: 5)
“Hendaklah mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan itulah agama yang lurus”.
Surat al-Muzammil ayat 20:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضً ا حَسَنًا (المزمل: 20)
“Dirikan shalat dan tunaikan zakat dan berilah piutang kepada Allah dengan sebaik-baik piutang”
b. Periode Madinah, dalam tahap ini perintah zakat telah menjadi kewajiban mutlak (ilzami). Ayat-ayat zakat dalam periode ini terdapat di dalam berbagai surat diantaranya surat al-Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (البقرة: 43)
“Dirikan shalat dan tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku".
Surat al-Maidah ayat 12
...لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَءَاتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَءَامَنْتُمْ بِرُسُلِي...(المائدة: 12)
“... Jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan kamu beriman kepada Rasul-Ku ...”.
2. Hadits Nabi SAW
Dalil yang berasal dari Sunnah Rasul SAW banyak sekali yang menceritakan tentang perintah zakat ini, baik yang langsung diungkapkan dengan menggunakan kata zakat ataupun dengan kata shadaqah. Namun yang jelas kata shadaqah dengan makna zakat banyak ditemukan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW, sedangkan kata zakat sering digunakan oleh Rasulullah SAW ketika menjelaskan tentang zakat fitrah.[2]
Diantara Hadits-hadits yang mengungkap tentang zakat ini adalah:
عَنْ ابْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ. [3]
“Dari Ibn Umar r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: Islam didirikan dari lima sendi: Mengaku bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Allah SWT dan bahwasanya Muhammad SAW itu adalah utusan Allah SWT, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa di bulan suci Ramadhan”.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ... [4]
"Dari Ibn Abbas r.a berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: ... Sesungguhnya Allah SWT memfardhukan atas mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang kaya diantara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka ...”.
3. Ijma' Ulama
Dalil yang berupa Ijma’ adalah adanya kesepakatan semua (ulama) umat Islam diseluruh negara bahwa zakat adalah wajib dikeluarkan, bahkan para sahabat Nabi Muhammad SAW sepakat untuk memerangi orang-orang yang ingkar dan enggan untuk mengeluarkan zakat.[5]
B. Syarat-syarat Zakat
Syarat-syarat dalam zakat ada dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah. Syarat-syarat wajib ialah yang berkaitan dengan orang yang wajib mengeluarkan zakat dan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Sedangkan syarat sah adalah niat dan tamlik. Rincian dari penjelasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Syarat-syarat orang yang wajib mengeluarkan zakat
Para ulama fikih membuat batasan syarat orang yang wajib mengeluarkan zakat dengan berbagai definisi. Salah satunya sebagaimana yang dinjelaskan Ibnu Rusyd: “Dan adapun orang-orang yang wajib berzakat, telah sepakat para ahli fikih bahwa orang itu adalah Islam, merdeka, baligh, berakal, dan memiliki nisab dengan milik yang sempurna”.[6]
Imam al-Syafi'i tidak membuat rumusan tentang syarat orang yang wajib mengeluarkan zakat, pada suatu bagian ia menjelaskan bahwa sedekah (zakat) wajib atas setiap pemilik harta dengan kepemilikan sempurna, dari mereka yang merdeka (bukan hamba sahaya), meskipun ia masih kanak-kanak, cacat, atau wanita.[7]
Pada bagian lain ia menyatakan bahwa kewajiban zakat tersebut atas seluruh orang yang merdeka dan muslim, termasuk di dalamnya laki-laki dan perempuan.[8] Dari kedua pernyataan tersebut, menurutnya, bahwa zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka dan memiliki harta secara sempurna. Orang non muslim tidak bukan merupakan hutang yang harus dibayar seandainya dia masuk Islam.
2. Syarat-Syarat Harta Yang Wajib Dizakatkan
Ketentuan tentang harta yang wajib dizakatkan tidak hanya dilihat dari jumlah nisabnya saja, akan tetapi harus dilihat juga kebutuhan seseorang terhadap harta itu, seumpama rumah tempat tinggal, pakaian yang dipakai, buku-buku yang disimpan untuk dibaca, peralatan rumah tangga. Kalau dihitung jumlahnya melebihi dari jumlah nisab, apakah benda itu juga wajib dizakatkan?.
Seseorang yang punya unta 2 ekor, beberapa ekor kambing, atau petani yang mempunyai penghasilan 1 atau 2 kwintal sekali panen, yang hanya mampu sekedar menutupi kebutuhan sehari-hari atau seorang pedagang yang mempunyai uang lebih dari senisab, tetapi dia banyak hutang, apakah juga dikenakan kewajiban zakat?. Keadilan yang diajarkan dalam Islam dan prinsip keringanan yang terdapat dalam ajaran Islam tidak mungkin akan membebani orang-orang yang terkena kewajiban melaksanakan sesuatu yang tidak mampu dilaksanakannya dan menjatuhkan kedalam kesulitan, sebagaimana firman dalam surah al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi:
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ... (البقرة: 286)
“Allah SWT tidak akan memberatkan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya, ia akan mendapat siksa dari kejahatan yang telah dikerjakannya”.[9]
Untuk menentukan kekayaan yang kena kewajiban zakat harus diberi batasan tentang sifat kekayaan itu dan syarat-syaratnya sebagai berikut:
a. Milik Penuh
Kekayaan pada dasarnya adalah milik Allah SWT. Allah SWT menegaskan bahwa kedudukan manusia terhadap harta kekayaan adalah sebagai penguasa atau penyimpan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Hadid ayat 7 yang berbunyi:
...وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ...(الحديد: 7)
“...nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah SWT telah menjadikan kamu sebagai penguasanya…”
Yang dimaksud dengan pemilikan manusia terhadap harta bukanlah kepemilikan secara mutlak atau sesungguhnya, karena pemilik secara mutlak itu adalah Allah SWT. Kepemilikan manusia ini hanyalah merupakan penyimpan, pemakai dan pemberi wewenang yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Oleh karena itu, pengertian pemilikan sesuatu oleh manusia itu ialah bahwa manusia itu lebih berhak menggunakan dan mengambil manfaat sesuatu daripada orang lain. Hal itu diperoleh dengan jalan menguasai sesuatu melalui cara pemilikan yang legal, misalnya dengan bekerja, berhutang, mendapat warisan dan lain-lain. Kepemilikan seperti itu harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai pemilik yang hakiki.
Adapun tentang pengertian pemilikan penuh adalah bahwa kekayaan itu harus berada di bawah kontrol dan kekuasaanya, atau seperti yang dinyatakan oleh sebagian ahli fikih, bahwa kekayaan itu harus berada ditangannya, tidak tersangkut didalamnya hak orang lain, sebaliknya tidak pula hartanya yang sedang berada di tangan orang lain, ia dapat menggunakannya dan faedahnya dapat dinikmatinya.[10]
Dalam sistem ekonomi pada era modern ini kepemilikan penuh tidak harus dalam arti bahwa harta tersebut harus berada di tangan pemiliknya secara langsung, harta yang berbentuk nilai dan diletakkan di institusi keuangan seperti perbankan dalam bentuk rekening, giro, dan bahkan deposito dapat dinyatakan sebagai harta dengan kategori milik penuh.
Hikmah ditetapkan syarat milik penuh terhadap harta yang akan dizakatkan adalah karena pemilikan merupakan nikmat yang sangat besar sekali, buah kemerdekaan, bahkan buah kemanusiaan, oleh karena itu, binatang tidak memiliki, tetapi manusialah yang memilikinya. Dan karena pemilikan itulah yang membuat manusia merasakan kelebihan diri dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dari apa yang dimilikinya. Pemilikan penuh itulah yang membuat manusia dapat menggunakan, menanam, dan mengembangkan kekayaan sendiri atau oleh orang lain. Nikmat besar yang diberikan itu membuat manusia harus berterima kasih, dan oleh karenanya wajar apabila hukum Islam mewajibkan pemiliknya untuk berzakat dan mengeluarkan hak orang lain dari kekayaan yang dimilikinya itu.
Sehubungan dengan syarat milik penuh (milk al-tam) yang merupakan salah satu syarat utama dalam zakat adalah kekayaan yang dimiliki secara penuh (sempurna), yaitu harta yang materi dan manfaatnya digunakan langsung oleh pemiliknya. Oleh karenanya, kekayaan yang sedang disewakan, misalnya, adalah harta kekayaan yang tidak termasuk dalam kriteria milik penuh (milk al-tam). Karena pada satu sisi harta tersebut materinya dimiliki oleh yang menyewakan (malik al-raqabah) dan pada sisi lain manfaat harta tersebut sedang dimiliki oleh orang yang menyewa (malik al-manfaah).
Dalam kaitannya dengan milk al-raqabah dan milk al-manfa'ah bahwa pemiliknya pada waktu tertentu tidak memenuhi syarat milik sempurna dan tidak dikenakan wajib zakat, namun pada waktu-waktu tertentu ia juga dikenakan wajib zakat terhadap barang sewaannya itu bila hasil sewa menyewa dari barang sewaan tersebut dibayar dan mencapai nisab harta kekayaan yaitu nisab emas dan perak (2,5 %), waktu mengeluarkannya sama dengan zakat pertanian, yaitu kapan mencapai nisab, tanpa adanya haul.
Demikian pula dengan syarat milik penuh ini, maka kekayaan yang tidak mempunyai pemilik tertentu tidak wajib dizakatkan, seperti kekayaan pemerintah yang berasal dari zakat dan pajak, karena kekayaan ini tidak ada pemilik tertentunya. Ia adalah milik seluruh rakyat termasuk didalamnya orang miskin. Dan juga karena pemerintahlah yang bertanggung jawab memungut zakat.
Tanah wakaf dan sejenisnya yang diberikan kepada fakir miskin, masjid dan sekolah, pejuang atau lembaga sosial lainnya itu tidak wajib zakat. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa “Apabila diwakafkan untuk orang-orang miskin, maka tidak dikenakan zakat. Bagi orang yang mewajibkannya, maka zakat itu tidak mempunyai arti, sebab dalam hal ini ada dua hal yang berkumpul, yaitu:
1) Hak milik yang tidak penuh.
2) Mewajibkan zakat atas orang-orang yang tertentu dari golongan yang menerima zakat, bukan dari golongan yang berkewajiban mengeluarkan zakat.[11]
Kekayaan yang samar-samar atau dalam keraguan juga tidak wajib dizakatkan, seperti harta yang tercecer dan tidak diketahui tempatnya, harta yang hilang, harta yang terkubur/terpendam yang tidak tahu lagi dimana tempatnya.
b. Berkembang
Ketentuan tentang kekayaan yang wajib dizakatkan ialah kekayaan yang dikembangkan dengan sengaja atau mempunyai potensi untuk berkembang. Pengertian berkembang menurut bahasa adalah sifat kekayaan itu dapat memberikan keuntungan, atau pendapatan, keuntungan investasi, ataupun pemasukan, sesuai dengan istilah yang dipergunakan oleh ahli perpajakan. Ataupun kekayaan itu berkembang dengan sendirinya artinya bertambah dan menghasilkan produksi.[12]
Menurut ahli fikih, “berkembang” (nama’) menurut istilahnya berarti bertambah, pengertian ini yang terpakai di sini terbagi dua, yaitu bertambah secara kongkrit dan bertambah secara tidak kongkrit. Bertambah secara kongkrit adalah bertambah akibat pembiakan, perdagangan dan sejenisnya. Sedangkan bertambah tidak secara kongkrit adalah kekayaan itu berpotensi untuk berkembang, baik berada ditangannya maupun ditangan orang lain atas namanya.[13]
Berkembangnya kekayaan itu karena diusahakan, seperti ternak berkembang dengan usaha, karena dirawat, melahirkan dan menghasilkan susu. Harta perdagangan berkembang karena diusahakan, menghasilkan laba, dan memberikan lapangan pekerjaan, Uang juga merupakan lambang barang, alat perantara transaksi dan ukuran harga sesuatu. Bila uang itu diinvestasikan pada industri, perdagangan, dan yang sejenisnya, maka uang itu akan memberikan keuntungan, dan keuntungan itulah yang dimaksud disini dengan berkembang.
Pengertian kata zakat yang kuat menurut bahasa adalah berkembang. Karena kekayaan yang dizakatkan itu akhirnya akan mendapatkan berkah dan berkembang sesuai dengan janji Allah SWT dalam surah al-Rum ayat 39 yang berbunyi:
وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم: 39)
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah SWT, maka yang berbuat demikian itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya”.[14]
Zakat itu hanya wajib dikeluarkan dari kekayaan yang berkembang atau berpotensi untuk berkembang, materi yang bernilai ekonomis. Oleh karena itu harta untuk kepentingan pribadi yang tidak mempunyai potensi untuk berkembang atau tidak bernilai ekonomis tidak wajib bagi pemiliknya untuk menzakatkannya, seperti rumah tempat tinggal, perabotan rumah tangga, peralatan untuk bekerja dan lain sebagainya.
Berkembang adalah kata kunci yang membedakan antara harta yang terkena dan yang tidak terkena wajib zakat. Rumah tempat tinggal, misalnya, apabila hanya didiami oleh pemiliknya maka ia tidak mempunyai sifat berkembang yang karenanya tidak wajib zakat, meskipun jumlah rumah tempat tinggal seseorang tersebut lebih dari satu. Apabila rumah tempat tinggal seseorang juga terdapat ruang atau kamar yang dikontrakkan, maka kontrakan tersebut sifatnya berkembang dan karenanya ada kewajiban zakat atas hasil kontrak tersebut, bukan atas nilai rumah.
c. Cukup Senisab
Islam mewajibkan zakat terhadap harta yang berkembang, memberikan ketentuan tentang ukuran atau jumlah harta yang disebut dalam hukum Islam dengan istilah nisab sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnahnya.[15]
Ketentuan nisab harta yang wajib dikeluarkan zakatnya terdapat dalam Hadits Nabi SAW dan harta yang kurang dari senisab itu tidak wajib zakat, misalnya seseorang mempunyai unta dibawah lima ekor dan empat puluh ekor kambing, demikian juga 200 dirham uang perak dan dibawah 500 wasaq bijian atau hasil pertanian.
Syekh besar Dahlawi berkata dalam menjelaskan hikmah besar nisab itu sebagai berikut: Bahwa ditetapkannya lima kwintal bijian dan kurma itu sesuai dengan kebutuhan minimal kebutuhan rumah tangga selama setahun. Hal itu oleh karena rumah tangga minimal terdiri dari suami, isteri, seorang pembantu atau seorang anak mereka dan besar kebutuhan makanan pokok seseorang adalah satu kati atau satu gantang beras, yang apabila mereka masing-masing makan sebanyak itu diperkirakan jumlah tersebut cukup bagi mereka untuk satu tahun dan lebihnya biar untuk lauk-pauknya atau untuk simpanan. Uang perak ditetapkan 200 dirham, oleh karena besar jumlah itu juga diperkirakan cukup bagi kebutuhan minimal rumah tangga setahun penuh, bila harga tidak naik dan yang menjadi patokan adalah harga yang berlaku di negara-negara yang harganya stabil.[16]
Hikmah adanya ketentuan nisab itu jelas sekali, bahkan zakat merupakan pemberian harta dari orang kaya untuk diberikan kepada fakir miskin dan turut berpartisipasi untuk mewujudkan kesejahteraan umat Islam. Oleh karenanya zakat diambil dari harta orang-orang kaya (mampu) memikul beban kewajiban zakat, bukan dari masyarakat miskin, karena mereka perlu dibantu. Rasulullah SAW bersabda:
...عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ بِذَلِكَ فَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ.[17]
“Dari Abdullah bin Abbas r.a dia berkata, bahwa Rasulullah SAW berkata: ...sesungguhnya Allah SWT memfardhukan atas mereka zakat yang diambil dari orang kaya diantara kamu dan diberikan kepada orang-orang fakir, apabila mereka mematuhimu maka waspadalah terhadap doa orang yang dizalimi”.
Para ulama pada umumnya mengklasifikasi strata perekonomian masyarakat muslim dengan dua kategori, yaitu para wajib zakat (Muzakki) yang masuk dalam kelompok orang kaya dan golongan yang berhak menerima zakat (Mustahiq al-Zakah). strata ekonomi masyarakat muslim tersebut lebih tepat apabila dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1) Kategori pertama adalah orang yang wajib mengeluarkan zakat dan dalam kondisi normal ia tidak berhak menerima zakat, kecuali dalam waktu-waktu tertentu, seperti ketika ia termasuk dalam 'amil zakat atau termasuk dalam fi sabilillah maupun ibnu sabil.
2) Kategori ketiga adalah orang yang tidak wajib mengeluarkan zakat dan bahkan berhak menerima zakat. Mereka ini adalah orang yang masuk dalam kategori delapan golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq al-zakah).
Ada dua model pandangan ekonomi dimasyarakat yaitu yang mengarah pada pandangan monokultur ekonomi, dimana setiap petani atau peternak hanya menangani dan menjalani satu bidang usaha, kambing, sapi, atau unta saja. Konsekwensi dari pola pandang monokultur ekonomi ini ialah apabila seseorang memiliki 38 ekor kambing, 28 ekor sapi, dan 4 ekor unta, maka peternak tersebut tidak terkena wajib zakat karena tidak satu jenis pun hewan ternaknya yang telah mencapai nisab. Dalam masyarakat dengan pandangan multikultur ekonomi, maka pola pandang di atas kurang tepat karena meskipun setiap jenis hewan yang dimiliki tidak mencapai nisab namun dari sisi kepemilikan dan nilai harta kekayaan yang dimiliki orang tersebut jauh lebih banyak dari seseorang yang hanya memiliki 50 ekor kambing saja dan wajib atasnya zakat. Karenanya, menurut penulis pengukur batas minimal wajib zakat, nisab, bukan hanya nisab saja, tetapi juga dapat diukur dengan kategori kaya, yaitu seseorang memiliki varian harta yang kalkulasinya lebih dari batas minimal.
d. Haul
Imam al-Syafi'i di dalam kitab al-Umm nya tidak menggunakan istilah nisab untuk batas minimal harta yang wajib dizakatkan, ia langsung menyebutkan nilai minimal dari masing-masing harta yang wajib dizakatkan tersebut dan nilai zakat yang wajib dikeluarkan. Kewajiban tersebut baru berlaku setelah harta dimaksud tetap berada di atas batas minimal sepanjang satu tahun penuh/haul.[18]
e. Lebih Dari Kebutuhan Pokok
Diantara ulama-ulama fikih, ada yang menambah ketentuan nisab kekayaan yang berkembang itu dengan lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya. Pendapat ini tampaknya dikembangkan dan dipopulerkan oleh Sayyid Sabiq, sedangkan para imam mazhab dan fuqaha masa lalu hanya menggunakan peristilahan mencapai nisab dan haul. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa yang menyebabkan seseorang wajib mengeluarkan zakat adalah kemapanannya secara ekonomis, hal ini dibuktikan dengan kemampuannya memiliki harta sebatas nisab atau lebih sepanjang satu tahun (haul)[19].
Menurut Ibn Rusyd bahwa tidak masuk dalam perhitungan (hasil pertanian dan perkebunan yang telah dikonsumsi oleh pemiliknya sebelum masa panen dalam kalkulasi nisab), dan petugas zakat yang melakukan perkiraan (perhitungan), membiarkan untuk pemiliknya apa yang telah dimakannya dan keluarganya”.[20]
Sayyid Sabiq mensyaratkan bahwa harus berlebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok atau vital bagi seseorang, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sarana untuk mencari nafkah”.[21] Termasuk dalam kategori kebutuhan dan tidak dikeluarkan zakatnya ialah perhiasan wanita dalam bentuk emas dan perak dalam jumlah yang pantas. Manakala perhiasan tersebut berlebih dari jumlah kepantasan, maka kelebihannya tersebut harus dimasukkan dalam hitungan harta yang wajib dizakatkan.[22]
Yang dikatakan kebutuhan pokok adalah sesuatu yang tidak dapat tidak dan harus ada untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Sayyid Sabiq di atas yang mencakup sandang, pangan dan peralatan yang dipakai dalam kegiatan sehari-hari, seperti buku bagi pencinta ilmu pengetahuan, perabot rumah tangga dan alat-alat yang dipakai dalam rangka untuk mencari nafkah serta biaya yang dipergunakan untuk pendidikan.
Suatu hal menarik, yang perlu dicatat dan dihargai dari para ulama fikih adalah mereka menilai ilmu pengetahuan itu sama dengan kehidupan sedangkan kebodohan itu sama dengan ajal dan kehancuran. Keperluan untuk memerangi kebodohan bagi mereka sama dengan kebutuhan primer, seperti makanan pokok untuk menghilangkan lapar dan pakaian untuk menjaga tubuh dari telanjang dan penyakit.[23]
Yang perlu diperhatikan bahwa kebutuhan pokok manusia itu tidak dapat ditentukan jumlah, nilai (harga) dan macam-macamnya, karena hal itu sangat relatif, tergantung pada kebiasaan masing-masing individu (المعتادة), berubah-ubah, berkembang, sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman, situasi serta kondisi setempat. Yang menjadi tekanan di sini adalah kebutuhan pokok orang yang terkena kewajiban zakat, serta kebutuhan orang-orang yang dibawah tanggungannya, seperti isteri, anak-anak, orang tua dan anggota keluarga lainnya yang harus ditanggungnya, seperti pramuwisma, kerabat karib, anak asuh dan lain sebagainya.
Dalil yang menyatakan harta yang dizakatkan itu harus lebih dari kebutuhan pokok antara lain adalah Hadits yang telah disebutkan terdahulu yang menyatakan bahwa zakat dibebankan kepada orang-orang yang kaya.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi:
...وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (البقرة: 219)
“…dan mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka nafkahkan, katakanlah yang lebih dari kebutuhan, demikianlah Allah SWT menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berpikir”.[24]
Dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan pula, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan seseorang, isteri dan anaknya lebih didahulukan dari kebutuhan orang lain, Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW, berkata kepada seorang laki-laki:
...ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ... [25]
“... Berikan terlebih dahulu untuk kepentingan dirimu, bila lebih berikanlah kepada keluargamu, bila lebih berikanlah kepada kerabat terdekatmu, bila masih lebih lagi berikanlah kepada orang yang lain, yaitu para tetanggamu ...”.
Sebagaimana juga ia menganjurkan untuk tidak terlalu ketat dalam melakukan penaksiran, yaitu:
عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال خففوا في الخرص فإن في المال العرية والواطية والأكلة والوصية والعامل والنوائب. [26]
"Diriwayatkan dari Jabir r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: peringanlah olehmu dalam melakukan perkiraan, karena pada harta tersebut ada yang rontok, rusak, dimakan, diwasiatkan, amil, dan perwakilan ”.
Sedangkan menurut beberapa ulama fikih lainnya, di antaranya Imam Malik dan Abu Hanifah, sebagaimana yang tertera dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid: "Imam Malik dan Abu Hanifah sependapat bahwa hasil pertanian dan perkebunan yang telah dikonsumsi oleh pemiliknya sebelum masa panen wajib diperhitungkan dalam kalkulasi nisab...".[27]
f. Bebas Dari Hutang
Pemilikan sempurna yang menjadi persyaratan wajib zakat, disamping lebih dari kebutuhan pokok yang mencukupi senisab, juga bebas dari hutang. Bila pemilik mempunyai hutang yang menghabiskan atau mengurangi jumlah senisab, maka belumlah kena kewajiban zakat. Baik hutang itu kepada sesama manusia maupun hutang kepada Allah SWT, seperti: haji, nazar, wasiat, maka hutang itu harus dilunasi terlebih dahulu, kemudian sisanya, jika masih cukup senisab, maka harus dikeluarkan zakatnya.[28]
Sayyid Sabiq mengemukakan: “Orang-orang yang memiliki kekayaan yang wajib dizakatkan, sedangkan ia mempunyai hutang, maka harus dikeluarkan sebanyak jumlah hutang dan sisanya dikeluarkan zakatnya apabila sampai senisab. Jika tidak cukup senisab lagi, maka tidak wajib baginya untuk berzakat, karena dia termasuk dalam keadaan fakir, masalah hutang kepada Allah SWT atau kepada manusia itu sama saja”.[29]
Dalam kitabnya, Ibnu Rusyd mengemukakan perbedaan pendapat para fuqaha’ tentang si pemilik harta yang mempunyai hutang, yaitu sebagai berikut:
1) Pendapat Al-Tsauri, Abu Tsaur, Ibnu al-Mubarak dan golongan yang lain mengatakan bahwa tidak diwajibkan zakat, kecuali apabila hutangnya sudah dapat dilunasi. Kalau harta kelebihannya masih sampai senisab, maka ia harus mengeluarkannya.
2) Abu Hanifah dan sahabatnya: “hutang tidak menghalangi zakat”
3) Imam Malik: “Hutang hanya menghapuskan zakat harta kontan saja, akan tetapi apabila si pemilik-pemiliknya mempunyai harta dagangan yang bisa menutupi hutangnya, maka zakatnya tidak terhapus karena hutangnya.
4) Pendapat fuqaha’ lain: “Bagaimanapun juga hutangnya, namun ia tidak menghapuskan kewajiban zakat”.[30]
5) Pendapat Imam al-Syafi'i bahwa orang tersebut diwajibkan untuk membayar hutang terlebih dahulu, dan tidak diwajibkan zakat, kecuali apabila hutangnya sudah dapat dilunasi dan harta kelebihannya masih sampai senisab, maka ia harus mengeluarkannya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Rabi'.[31]
Perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan karena berbeda pandangan, apakah zakat itu ibadah ataukah kewajiban yang dikenakan terhadap harta untuk orang-orang miskin. Bagi mereka yang berpendapat bahwa zakat merupakan hak orang miskin, maka mereka mengatakan terhadap harta orang-orang yang mempunyai hutang tidak diwajibkan zakat padanya, karena hak orang yang mempunyai hutang lebih didahulukan dari orang miskin, karena pada hakekatnya harta tersebut menjadi milik penagihnya (yang mempiutangnya), bukan milik orang yang sedang menguasainya.
Para fuqaha’ berpendapat bahwa zakat itu adalah suatu ibadah, maka mereka mengatakan bahwa yang terkena kewajiban zakat ialah orang yang sedang menguasai harta. Ditambah lagi dalam hal ini terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu hak Allah SWT dan hak manusia, hak Allah SWT lebih utama untuk dipenuhi.[32]
Perbedaan pendapat di atas sangat dipengaruhi oleh sisi pandang masing-masing ulama tentang: milik penuh, zakat kewajiban atas harta, dan sisi pandang bahwa zakat merupakan suatu ibadah. Dari sisi kepemilikan penuh maka baik yang berhutang maupun yang berpiutang tidak dikenakan wajib zakat karena mereka sama-sama tidak memenuhi kriteria milik penuh.
Menurut penulis dalam kaitan harta piutang ini harus dilihat dari sifat kegunaan harta yang dihutang tersebut, apabila yang berhutang memakai harta tersebut untuk kebutuhan pokok maka tidak dikenakan zakat, tetapi jika harta tersebut digunakan sebagai modal usaha maka wajib dikeluarkan zakatnya oleh si peminjam bukan oleh yang meminjamkan.
Prinsip ini juga berlaku pada modal usaha yang diperoleh dari pinjaman Bank. Seseorang yang membuka usaha dengan modal pinjaman dari Bank dengan masa angsuran selama 5 tahun, misalnya, ia wajib mengeluarkan zakatnya apabila memenuhi nisab setelah membayar tagihan perbulan yang telah jatuh tempo, bukan melunasi seluruh hutangnya.
3. Syarat-syarat Sah Pelaksanaan Zakat
Syarat-syarat sahnya pelaksanaan zakat itu ada dua macam, yaitu:
a. Niat
Zakat merupakan ibadah seperti halnya shalat dan setiap ibadah harus dilaksanakan dengan niat. Para fuqaha’ sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya pelaksanaan zakat, pendapat ini berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi:
عن عمر بن الخطاب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنما الأعمال بالنية. [33]
“Dari Umar ibn Khattab, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya setiap pekerjaan itu harus dimulai dengan niat”.
Oleh karena itu, agar zakat yang ditunaikan itu dapat diterima oleh Allah SWT dengan baik, maka zakat diperlukan adanya niat untuk membedakan antara ibadah yang wajib dan yang sunat. Adapun hakekat niat menurut Sayyid Sabiq adalah “kehendak hati menuju perbuatan, karena mengharapkan mardhatillah” atau “perbuatan hati semata, tidak urusan dengan lisan padanya dan tidak perlu diucapkan”.[34]
Mengenai niat ini, para fuqaha’ merincinya sebagai berikut:
1) Menurut mazhab Hanafi adalah zakat tidak boleh dikeluarkan kecuali disertai dengan niat yang dilakukan dengan pemberiannya kepada orang-orang fakir. Oleh karena itu, niat dipandang cukup dilakukan ketika harta tersebut dilepaskan dari pemiliknya. Hal seperti ini dimaksudkan untuk mempermudah para muzakki, sebagaimana halnya mendahulukan niat dalam puasa.
2) Menurut mazhab Maliki bahwa niat disyaratkan dalam zakat sewaktu harta diserahkan kepada mustahiq, niat yang dilakukan oleh imam atau orang yang menempati posisinya, sudah dipandang cukup untuk muzakki.
3) Menurut mazhab Syafi’i bahwa niat wajib dilakukan dalam hati. Ia tidak disyaratkan untuk diucapkan dengan lisan. Niat juga sudah dipandang sah, ketika ia lakukan setelah harta itu dilepaskan dan belum dipisahkan, kendatipun niat tersebut tidak menyertai salah satu dari keduanya (pelepasan harta dan pemisahannya).
4) Menurut mazhab Hanbali bahwa niat adalah menyatakan sebuah tekad bahwa harta yang dizakati itu adalah zakat yang dikeluarkan oleh diri sendiri atau zakat yang dikeluarkan dari orang yang diwakili. Niat tempatnya dihati, sebab semua pernyataan tekad tempatnya dihati. Oleh karena itu, niat boleh didahulukan dari waktu pelaksanaannya, dengan catatan jarak waktunya tidak terlalu lama, seperti halnya ibadah-ibadah lainnya.[35]
b. Tamlik (Pemindahan kepemilikan harta kepada penerimanya)
Tamlik menjadi syarat sahnya pelaksanaan zakat, yaitu harta zakat diberikan kepada para mustahiq. Dengan demikian, seseorang tidak boleh memberikan zakatnya, kecuali dengan jalan tamlik. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:
...وَإِقَامَ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ...(الأتبياء: 73 و النور: 37)
"...dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat…".[36]
Yang dimaksud dengan al-‘ita dalam ayat di atas adalah tamlik.[37]
[1]Abdurrahman Qadir, Zakat (dalam dimensi mahdhah .., h. 43.
[2]Hadits-hadits tentang kewajiban zakat ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dari jalur sanad yang lain, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abu Ayyub, dll. Selain itu juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad. Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Jilid IV, h. 4. Lihat juga: Ibnu Daqiqi al-‘Id, Ihkam al-Ahkam Syarah Umdah al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Jilid I, h. 182.
[3]Lihat: Muslim, Shahih Muslim, h. 683.
[4]Syaukani, Nail al-Authar, Jilid IV, h. 170.
[5]Abu Bakar r.a, diawal pemerintahannya, terpaksa memerangi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat kepada petugas yang dikirimnya. Abu Bakar menyatakan “Demi Allah akan aku perangi orang yang memisahkan antara salat dan zakat”. Lihat Yasin Ibrahim al-Syaikh, Zakat, The Third Pillar of Islam, (alih bahasa) Wawan S. Husin, Cara Mudah Menunaikan Zakat: Membersihkan Kekayaan Menyempurnakan Puasa Ramadhan, (Bandung: Pustaka Madani, 1997), h. 133.
[6]Ibnu Rusyd: وأما على من تجب فإنهم اتفقوا على كل مسلم حر بالغ عاقل مالك للنصاب ملكا تاما, Lihat: Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar al-fikr, tt), Juz I, h. 196.
[7]Muhammad ibn Idris al-Syafi'i: وتجب الصدقة على كل مالك تام الملك من الأحرار وإن كان صبيا أو معتوها أو امرأة لا افتراق في ذلك بينهم, lihat: al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983/1393), Juz II, h. 27.
[8]Ibn Idris al-Syafi'i, al-Umm, Juz II, h. 28.
[9]Al-Qur’an Digital, al-Baqarah : 286
[10]Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 127.
[11]Ibnu Rusyd : Bidayah al-Mujtahid.., Juz I, h. 198.
[12]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 128-130.
[13]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 128-130.
[14]Al-Qur’an Digital, ar-Rum: 39.
[15]Sayyid Sabiq: تجب الزكاة على المسلم الحر المالك النصاب من أي نوع من أنواع المال الذى تجب فيه الزكاة,
[16]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h.149.
[17]Lihat: Mausu'ah al-Hadits al-Syarif, Sunan al-Nasa'i, Kitab: al-Zakat, Bab: Wujub al-Zakat, hadits nomor: 2392.
[18]Lihat: al-Syaibani, al-Hujjah Ala Ahl al-Madinah., h. 16.
[19]Al-Ghazali: (وأما صفة الواجب وقدره فيتبين ببيان مقادير النصاب). Lihat: al-Wasith fi al-Madzhab, op.cit., juz II, h. 400.
[20]Ibnu Rusyd: لا يحسب عليه (على الرجل ما أكل من ثمره وزرعه قبل الحصاد في النصاب) ويترك الخارص لرب المال ما ياكل هو واهله, Lihat Bidayatul Mujtahid., h. 195
[21]Sayyid Sabiq: ان يكون فا ضلا عن الحا جا ت الضرورية التي لاغني للمرء عنها كالطعام والملبس و المسكن و المر كب و آلات الحر فة
[22]Pada masa silam, emas dan perak adalah alat tukar resmi bagi transaksi ekonomi, alat tukar dalam bentuk emas dinamakan Dinar dan alat tukar dalam bentuk perak dinamakan Dirham. Kedua materi itu juga dipakai oleh para wanita sebagai perhiasan. Dengan demikian pembeda antara alat transaksi dan perhiasan hanya pada fungsi sesaat, sementara setelah alat tukar transaksi diganti dengan uang maka perbedaan antara harta kekayaan dan perhiasan yang jelas.
[23]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 154.
[24]Al-Qur’an Digital, al-Baqarah: 219.
[25]Muslim, Shahih Muslim., Jilid VII, h. 83. Lihat pula: Mausu'ah al-Hadits al-Syarif, Shahih Muslim, Kitab: al-Zakah, Bab: al-Ibtida' fi al-Nafaqah bi al-Nafs tsumma al-Ahl tsumma al-qaraba, hadits nomor 1663.
[26]Quthni, Sunan al-Dar Quthni, Juz II, h. 85. Lihat juga: Yusuf ibn Abdullah Ibn Abd al-Birr al-Numari, al-Tamhid lima fi al-Muwaththa' min al-Ma'ani wa al-Asanid, (Maroko: Wizarah Umum al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah, 1387), tahqiq: Musthafa ibn Ahmad al-Alawi dan Muhammad Abd al-Kabir al-Bakri, Juz VI, h. 472.
[27]Ibnu Rusyd: ...فإن مالكا وأبا حنيفة قالا يحسب على الرجل ما أكل من ثمره وزرعه قبل الحصاد في النصاب..., Bidayatul Mujtahid.., h. 195.
[28]H.M. Syukri Ghazali, dkk, Pedoman Zakat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Zakat dan Wakaf, 1991), h. 83.
[29]Sayyid Sabiq: من كان في يد ه مال تجب الزكاة فيه, وهو مد ين اخرج منه ما يفي بد ينه وزكي الباقي ان بلغ نصابا. وان لم يبلغ النصاب فلا زكا ة فيه, لانه في هذه الحالة فقير... ويستوى في ذ لك الد ين الذى عليه لله وللعبا د.,
[30]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 196.
[31]Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, أعلم أن يكون إنما أمر بقضاء الدين قبل حلول الصدقة في المال في قوله هذا شهر زكاتكم يجوز أن يقول هذا الشهر الذي إذا مضى حلت زكاتكم كما يقال شهر ذي الحجة وإنما الحجة بعد مضى أيام منه Lihat: al-Umm, Juz II, h. 50.
[32]Syafi'i, al-Umm, Juz II, h. 179.
[33]Muslim, Shahih Muslim., Juz III, h. 1515.
[34]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 38.
[35]Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islami wa ‘Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Jilid II, h. 250-252.
[36]Al-Qur’an Digital, al-Anbiya’: 73 dan an-Nur: 37.
[37]Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islami wa ‘Adillatuhu , h. 252 – 253. Lihat pula: Muhammad ibn Bakr, al-Bahr al-Ra'iq Syarh Kanz al-Daqaiq, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, tt.), juz II, h. 216.
0 Response to "LANDASAN HUKUM ZAKAT"
Posting Komentar