PENERIMA ZAKAT DAN JENIS HARTA YANG WAJIB DIZAKATKAN



PENERIMA ZAKAT DAN JENIS HARTA YANG WAJIB DIZAKATKAN



A.    Penerima Zakat (ةمستحق الزكا)

Al-Qur’an secara tegas telah mengungkapkan orang-orang yang berhak dijadikan sasaran dalam pembagian zakat. Ungkapan tersebut termuat dalam surat al-Taubah ayat 60 sebagai berikut:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 60)

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”.



Kedelapan kelompok itu diuraikan oleh ulama fikih sebagai berikut:

1.      Fakir (al-Fuqara’)

Kata fakir adalah bentuk tunggal dari kata fuqara’ sebagai kelompok pertama yang berhak menerima bagian zakat. Al-Fuqara’ yang merupakan bentuk jamak dari kata al-faqir. Fakir menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari, dia tidak memiliki suami/isteri, ayah, ibu dan keturunan yang membiayainya, baik untuk membeli makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.[1]

2.      Miskin (al-Masakin)

Al-Masakin adalah bentuk jama’ dari kata al-miskin. Kelompok ini merupakan kelompok kedua dari penerima zakat. Orang-orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat dipakai untuk memenuhi hajat hidupnya.

3.      Panitia/Pengurus Zakat (al-‘Amil)

Panitia zakat adalah orang-orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang yang berzakat dan membagikannya kepada orang-orang yang berhak untuk menerimanya. Panitia zakat ini juga berhak untuk mendapatkan bagian dari zakat itu, sebagai imbalan jasa dari pekerjaan mereka, walaupun mereka termasuk dalam kategori orang kaya. Oleh karena itu, maka bagian untuk panitia zakat ini tidak disamakan jumlahnya dengan bagian yang lainnya, seperti fakir, miskin, karena panitia zakat ini diberikan bagian bukan karena kebutuhannya.

Untuk menjadi amil zakat diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

a.       Hendaklah ia seorang muslim karena zakat adalah urusan kaum muslimin.

b.      Seorang amil harus mukallaf, artinya; orang yang baligh dan berakal.

c.       Seorang amil harus jujur dan amanah, karena akan dipercayakan untuk memegang dan mengelola harta kaum muslimin.

d.      Seorang amil harus memahami hukum-hukum zakat, karena kalau kurang baik memahami hukum-hukum zakat, maka besar kemungkinan akan banyak melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas. [2]

4.      Orang-orang yang perlu ditundukkan/dibujuk hatinya (al-Muallaf)

Yang di maksud dengan muallaf adalah mereka yang dijinakkan hatinya agar cenderung untuk beriman kepada Allah SWT, dan mencegah agar mereka tidak berbuat jahat, bahkan diharapkan mereka akan dapat membela atau menolong kaum muslimin. Sayyid Sabiq mengatakan, yang di maksud dengan muallaf antara lain adalah mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya bertambah terhadap Islam dan atau terhalangnya niat jahat mereka terhadap kaum muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membela dan menolong kaum muslimin dari musuh.

Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, bahwa orang-orang yang dapat dibujuk hatinya (mu’allaf) dengan zakat adalah:

a.       Orang-orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah, mereka diberikan zakat sebagai bantuan untuk meningkatkan imannya.

b.      Pemimpin yang telah masuk Islam dan diharapkan akan mempengaruhi kaumnya yang masih kafir, supaya mereka masuk Islam.

c.       Pemimpin yang telah kuat imannya, diharapkan dapat mencegah perbuatan jahat orang-orang kafir yang ada dibawah pimpinannya, atau perbuatan orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakatnya.

d.      Orang-orang yang dapat mencegah tindakan orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

e.       Orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah kaum muslim yang berbatasan dengan orang-orang kafir, untuk menjaga agar orang-orang kafir tidak memerangi mereka.[3]

5.      Memerdekakan Budak (Fi al-riqab)

Kata “riqab” adalah bentuk jamak dari kat “raqabah” yang menurut bahasa dapat berarti: pangkal leher bagian belakang atau tengkuk. Sedangkan menurut syara’ berarti: budak atau hamba sahaya. Budak dinamakan riqab, karena dia dikuasai sepenuhnya oleh tuannya. Ketaatannya kepada tuannya serupa dengan hewan yang diikat lehernya, kemana saja bisa ditarik ia harus mengikut. Untuk melepaskan ikatan budak itu dan membebaskannya dari kongkongan perbudakan dan mengembalikannya kepada fitrahnya sebagai hamba Allah SWT yang merdeka, maka agama Islam menetapkan dalam Undang-Undang zakat, satu bagian untuk membebaskan budak dari ikatannya.



6.      Orang-orang yang memiliki hutang (al-Gharimin)

Bila diperhatikan dari subjek hukumnya, al-gharimin ada dua macam: pertama, orang yang berhutang secara pribadi dan kedua, orang yang berhutang secara kelembagaan. Berhutang untuk kepentingan pribadi seperti; untuk kebutuhan nafkah keluarga, membeli obat guna menyembuhkan penyakit, mengawinkan anak atau hutang yang timbul disebabkan tidak sengaja merusak harta benda orang lain dan sebagainya. Sedangkan berhutang secara kelembagaan adalah hutang yang dibuat oleh suatu lembaga kemasyarakatan demi kepentingan masyarakat Islam, seperti membuat mesjid, membangun rumah sakit dan lain sebagainya. Al-Thabari menceritakan dari Abu Ja’far Qatadah, al-gharim adalah orang yang berutang dalam hal yang tidak bersifat pemborosan.

Menurut Sayid Sabiq, al-gharimin adalah orang yang berhutang dan sukar untuk membayarnya. Mereka ini bermacam-macam, antara lain adalah orang yang memikul hutang untuk mendamaikan sengketa atau menjamin hutang orang lain hingga harus membayar sampai menghabiskan hartanya. Atau orang yang terpaksa berhutang karena memang membutuhkan untuk keperluan hidup atau membebaskan dirinya dari maksiat. Mereka itu semuanya boleh menerima zakat yang cukup dalam melunasi hutangnya.



7.      Orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT (fi-sabilillah)

Pengertian sabilillah adalah segala jalan yang akan mengantarkan umat Islam kepada mardhatillah. Sabilillah ini meliputi seluruh kepentingan agama Islam dan umatnya. Yang paling utama ialah membiayai pasukan sukarelawan Islam, melengkapi berbagai jenis persenjataan dan perbekalannya, serta alat pengangkutan, mendirikan balai pengobatan (rumah sakit), membangun jalan umum, sarana kesejahteraan umat dan membiayai organisasi gerakan dakwah Islam.

Sabilillah diartikan dengan berperang di jalan Allah SWT, dan yang memperoleh bagian dari sabilillah adalah tentara suka relawan yang tidak mendapat gaji dari pemerintah, meskipun ia orang kaya. Menurut Rasyid Ridha, sabilillah itu mencakup semua kemaslahatan syar’iyah secara umum, yang berhubungan dengan urusan agama dan negara. 



8.      Orang-orang yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil)

Yang dimaksud dengan ibnu sabil adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) untuk melakukan suatu hal yang baik (tha’at), jauh dari kampung halamannya dan harta bendanya, sedangkan ia diperkirakan tidak akan mencapai maksud dan tujuannya jika tidak dibantu. Seperti: orang yang melaksanakan ibadah haji, berperang di jalan Allah SWT, ziarah yang dianjurkan, perjalanan keluar daerah atau negeri untuk menuntut ilmu, melakukan penelitian ilmiah atau untuk memperbaiki hubungan antar daerah dan antar negara muslim.

Dalam pandangan golongan Syafi’iyah ibnu sabil terdiri dari dua kelompok: pertama, orang yang mau bepergian dan kedua, adalah orang yang sedang dalam perjalanan. Keduanya berhak meminta bagian dari harta zakat, meskipun ada orang menghutanginya dengan cukup dan ia di negerinya sendiri mempunyai harta untuk membayar hutang itu, dengan catatan perjalanannya tidak untuk melakukan maksiat.[4]

Menurut Sayid Sabiq, para ulama pada prinsipnya sepakat bahwa musafir yang terputus dari negerinya, diberi zakat, dengan syarat perjalanannya dalam rangka di jalan Allah SWT atau tidak untuk berbuat maksiat.[5]

Adapun orang-orang yang melakukan perjalanan sebagai wisatawan, olahragawan atau untuk melakukan pertandingan dalam rangka memperebutkan kejuaraan daerah lain, atau untuk popularitas namanya sendiri, maka orang-orang seperti ini tidak termasuk golongan ibnu sabil yang berhak menerima bagian dari zakat.[6]



B. Jenis-jenis Harta yang Wajib Dizakatkan

Al-Qur’an sebagai dasar yang mewajibkan zakat tidak merinci  jenis harta kekayaan yang wajib dizakati. Al-Qur’an hanya menggunakan lafaz yang umum, yaitu amwal yang bermakna segala macam harta, meskipun dalam hadits Nabi SAW telah menyebutkan beberapa nama dan jenis harta yang wajib dizakati seperti al-Masyiyah (beberapa jenis hewan), al-Zahab-Fiddah (emas-perak), ‘urud al-Tijarah (harta perdagangan), zuru’ simar (hasil pertanian dan tumbuhan tertentu), dan rikaz-ma’din (harta temuan dan galian), tetapi tidak membatasi (takhsis) nama dan jenis harta kekayaan selain dari lima macam di atas.

Adapun harta yang wajib dizakati adalah :

1. Semua harta kekayaan yang bisa berkembang, baik berkembang dengan sendirinya maupun dengan diusahakan;

2. Semua jenis tumbuh-tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis;

3. Semua jenis kekayaan yang berasal dari perut bumi, baik cair maupun padat;

4. Semua harta kekayaan yang berasal dari berbagai usaha dan penjualan jasa.





                             







1.    Emas dan Perak

Firman Allah SWT dalam surah al-Taubah ayat 34 yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (التوبة: 34)

 “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang lain Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah SWT. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah SWT, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih”.[7]

Dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, Ibnu Munzir, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Masdawaih, meriwayatkan Hadits dari Abu Hurairah r.a dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ[8].

“Rasulullah SAW bersabda: tidak ada dari pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya, kecuali emas dan perak itu baginya pada hari kiamat dijadikan sebagai pedang besar dari api neraka dan dipanasi untuk memotong dirinya sendiri di neraka jahannam”.

Tentang nisab emas dan perak para ulama sepakat, yaitu dua puluh dinar untuk emas dan dua ratus dirham untuk perak. Sedangkan haulnya, masing-masing satu tahun. Hal ini dijelaskan dalam Hadits yang berbunyi:

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِ أَوَّلِ هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ. [9]

 “Diceritakan dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi SAW beliau bersabda: Apabila kamu memiliki (perak) 200 dirham dan sudah sampai satu tahun, maka zakatnya 5 dirham. Dan kamu tidak wajib mengeluarkan apapun yakni pada emas sampai kamu mempunyai 20 dinar, apabila kamu memiliki 20 dinar dan kamu sudah.

Mengenai zakat emas dan perak yang dipakai untuk perhiasan, para ulama berbeda pendapat. Menurut Abu Hanifah, emas dan perak baik berupa perhiasan maupun yang bukan perhiasan wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa perhiasan emas dan perak tidak wajib dekeluarkan zakatnya.[10]

Tampaknya perbedaan para imam mazhab di atas terjadi disebabkan dimensi pandang atas emas dan perak yang dijadikan perhiasan tersebut. Abu Hanifah lebih cenderung menilai perhiasan sebagai barang ekonomis dengan kategori aktiva dan karenanya wajib zakat atas barang-barang tersebut, sementara para imam mazhab yang lain lebih cenderung menilai perhiasan tersebut sebagai barang ekonomis dengan kategori pasiva dan karenanya tidak wajib zakat atas barang-barang tersebut.

Disamping itu, pendapat yang kedua lebih sesuai dengan prinsip-prinsip sumber zakat. Di antara prinsip-prinsip sumber zakat ialah: pertama, prinsip produktif, yaitu mempunyai sifat berkembang atau dapat diharapkan untuk berkembang. Kedua, diluar kebutuhan pokok, perhiasan bagi wanita adalah kebutuhan pokok, selama dalam batas kebutuhan perhiasan sesuai dengan standar yang berlaku umum di suatu tempat. Akan tetapi apabila perhiasan bagi seorang wanita sudah sampai ke tingkat berlebih-lebihan, maka sudah diluar batas kebutuhan pokok.

Emas dan perak, sebagaimana telah dijelaskan di atas, dari satu sisi ia adalah materi utama kekayaan, dapat berfungsi sebagai barang ekonomis dengan kategori aktiva dan dalam batasan tertentu ia dapat berfungsi sebagai barang ekonomis dengan kategori pasiva, yaitu ketika ia menjadi perhiasan sepantasnya bagi wanita. Apabila emas dan perak tersebut berfungsi sebagai barang ekonomis dengan kategori aktiva, baik yang dijadikan komoditas perdagangan maupun yang hanya disimpan, maka ia dikenakan kewajiban zakat.

2. Tanaman dan buah-buahan.

Semua ulama sependapat bahwa padi, gandum, kurma dan anggur kering wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nisabnya pada waktu memanen. Yang menjadi perbedaan pendapat di antara para ulama adalah jenis hasil pertanian di luar empat yang telah disebut. Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa zakat diwajibkan atas makanan yang dimakan dan yang disimpan dari biji-bijian dan buah-buahan kering seperti gandum, jagung, padi dan sejenisnya.[11] Adapun Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa zakat wajib atas biji-bijian dan buah-buahan yang memiliki sifat ditimbang, tetap dan kering.[12]  

Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil tanaman wajib dikeluarkan zakatnya, ia tidak mensyaratkan hasil tanaman yang harus dizakati itu berupa makanan pokok, kering, bisa disimpan, bisa ditukar dan bisa dimakan. Oleh karena itu, menurut Abu Hanifah dan kawan-kawannya, tebu, kunyit, kapas, ketumbar, buah jambu, mangga, dan lain-lain baik basah maupun kering wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula sayur-sayuran seperti; ketimun, labu, wortel, lobak dan lain-lain.[13]  Pendapat Abu Hanifah ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat al-An’am ayat 141:

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (الأنعام: 141)

 “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama rasanya. Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.[14]

Mengenai nisab dan kadar zakat tanam-tanaman, ulama sependapat yaitu sebesar lima wasaq[15] (652,8/653 Kg) gandum. Adapun kadar pungutan zakat dari tanam-tanaman adalah 10 % apabila tanaman itu tergantung dengan siraman air hujan dan mata air, dan jika memakai biaya pengairan dan beban-beban lainnya seperti irigasi, inteksida, pupuk dan lain-lain, maka kadar zakatnya adalah 5 %. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi SAW yang bersumber dari Ibnu Umar:

فيما سقت السماء والعيون او كان عثريا العشر وفيما سقي بالنضح نصف العشر.[16]

“Terhadap tanam-tanaman yang diari dengan air hujan dan mata air atau yang menyerap dengan akarnya, maka zakatnya sepersepuluh atau 10 persen. Dan terhadap tanam-tanaman yang diari dengan irigasi, maka zakatnya adalah seperduapuluh atau 5 persen”.

Para imam mazhab sependapat tentang wajib zakat terhadap jenis tanaman dan buah-buahan yang secara tegas disebutkan dalam hadits,[17] dan mereka berbeda pendapat terhadap tanaman dan buah-buahan yang tidak disebutkan dalam hadits. Imam al-Syafi'i dan Malik menambahkan bahwa wajib zakat atas hasil pertanian (tanaman) dan perkebunan (buah-buahan) yang memenuhi kriteria berikut: dapat dimakan dan tahan lama. Imam Ahmad ibn Hanbal menambahkan yang memenuhi kriteria: dapat ditimbang dan tahan lama. Berbeda dari ketiga imam mazhab yang telah disebutkan sebelumnya, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa semua hasil tanaman wajib dikeluarkan zakatnya.

Menurut penulis bahwa jenis tanaman dan buah-buahan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah jenis yang merupakan komoditas utama masyarakat setempat, dengan demikian jenis tanaman dan buah-buahan yang disebutkan dengan tegas pada hadits tersebut tidak harus diartikan secara literal sebagai jenis yang permanen, ia lebih tepat untuk diartikan dengan makanan pokok (dalam hal ini gandum di Arab dan beras untuk sebagian besar Indonesia, sagu di Maluku, dan jagung serta umbi di Irian Jaya) dan buah-buahan utama setempat (kurma dan anggur di Arab, duku, durian, rambutan di Jambi, serta buah-buahan terpopuler lokal masing-masing daerah)

Atas jenis makanan pokok dan buah-buahan terpopuler lokal masing-masing daerah dikenakan zakat sebesar 5 hingga 10 % dari jenis barang tersebut dan apabila barang tersebut dijual setelah dikeluarkan zakatnya maka hasil penjualan tidak lagi dikenakan zakat. Terhadap jenis barang diluar makanan pokok dan buah-buahan terpopuler lokal masing-masing daerah tidak dikenakan zakat atas barang tersebut meskipun ia mencapai jumlah yang sangat besar, zakat yang dikenakan terhadap orang memiliki jenis barang yang disebutkan terakhir ini ialah zakat atas nilai harta kekayaan, apabila harta tersebut telah mencapai 85 gram emas dan setelah haul.

Perbedaan besar antara zakat komoditas utama dan komoditas selainnya ialah bahwa pada komoditas utama dikenakan zakat sebesar 5 hingga 10 % sedangkan pada komoditas lain sebesar 2 ½ %. Tanaman hias, cengkeh, kelapa, sawit, karet, pinang, kopra, dan lainnya termasuk dalam kategori komoditas non utama dan atas komoditas tersebut tidak dikenakan zakat terhadap jenisnya, ia termasuk dalam zakat harta kekayaan.

3.      Hewan Ternak (peliharaan)

Menurut Yusuf al-Qardhawi, kewajiban mengeluarkan zakat binatang ternak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.  Mencapai nisab. Karena seseorang yang mempunyai harta benda kurang dari satu nisab, ia belum bisa dikatakan kaya, sedangkan zakat itu harus dipungut dari orang kaya.

b.      Berlangsung selama satu. Sebab perhitungan berkembangnya hewan ternak baru dapat dinilai dalam waktu setahun

c.       Binatang itu termasuk dalam katagori saimah, digembalakan makan rumput di ladang luas. Sebab termasuk atas kewajiban zakat harta itu harus berkembang (al-nama’) atau dapat diperkembangkan (al-Istinma’). Hewan dapat berkembang atau diperkembangkan ia harus dipeternakan (saimah) atau diperdagangkan.

d.      Binatang tersebut tidak dipekerjakan, seperti untuk menghela bajak, untuk angkutan barang dan kendaraan. [18]

Adapun jenis hewan yang wajib dikeluarkan zakatnya menurut sebagian besar ulama adalah unta, sapi/kerbau dan kambing.[19]

Hal ini dijelaskan dalam Hadits Nabi SAW yang berbunyi:

...مَا مِنْ صَاحِبِ إِبِلٍ وَلَا بَقَرٍ وَلَا غَنَمٍ لَا يُؤَدِّي زَكَاتَهَا إِلَّا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْظَمَ مَا كَانَتْ وَأَسْمَنَهُ تَنْطَحُهُ بِقُرُونِهَا وَتَطَؤُهُ بِأَظْلَافِهَا كُلَّمَا نَفِدَتْ أُخْرَاهَا عَادَتْ عَلَيْهِ أُولَاهَا حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ... [20]

“...Siapa saja yang mempunyai onta, lembu (sapi), kambing (biri-biri) dan tidak membayarkan zakatnya, maka hewan-hewannya itu akan ditanyakan kepadanya pada hari kiamat nati dalam keadaan besar dan gemuk menginjak-injak orang itu dengan kakinya dan menanduknya dengan tanduknya, setelah semua hewan itu selesai menginjak dan menanduk, lalu kembali lagi giliran yang pertama sampai habis, begitulah siksaan itu berlaku terus hingga datang pengadilan diantara seluruh manusia..."

Mengenai nisab dan kadar zakat dari binatang-binatang tersebut adalah: kambing atau biri-biri nisabnya adalah

a.   40 ekor sampai 120 ekor, zakatnya satu ekor kambing.

b.      121 ekor sampai dengan 200 ekor, zakatnya 2 ekor kambing.

c.       201 ekor sampai dengan 300 ekor, zakatnya 3 ekor kambing. Selanjutnya setiap pertambahan 100 ekor, zakatnya ditambah 1 ekor kambing.

Sapi/kerbau nisabnya:

a.       30 ekor sampai 39 ekor, zakatnya 1 ekor sapi berumur setahun lebih,

b.      40 ekor sampai 59 ekor, zakatnya 1 ekor sapi berumur dua tahun lebih,

c.       60 ekor sampai 69 ekor, zakatnya 2 ekor sapi berumur satu tahun lebih,

d.      70 ekor sampai 79 ekor zakatnya 2 ekor sapi berumur dua tehun lebih, selanjutnya setiap tambahan 30 ekor, zakatnya satu ekor sapi berumur setahun lebih. [21]

Unta nisabnya:

a.       Batas minimal kewajiban zakat atas unta ialah 5 ekor, apabila seseorang memiliki 5 ekor unta ternak maka wajib mengeluarkan seekor kambing

b.      10 ekor unta zakatnya 2 ekor kambing

c.       15 ekor unta zakatnya 3 ekor kambing

d.      20 ekor unta zakatnya 4 ekor kambing

e.       25 ekor zakatnya 1 ekor binti muhadh (unta berusia 1 tahun atau lebih) atau ibn labun (unta berusia 2 tahun atau lebih).

f.       36 ekor zakatnya ibnah labun.

g.      46 ekor zakatnya huqqah (unta berusia 3 tahun atau lebih).

h.      61 ekor zakatnya jaza'ah (unta berusia 4 tahun atau lebih).

i.        76 ekor zakatnya binta labun (2 ekor unta berusia 2 tahun atau lebih ).

j.        91 hingga 120 ekor zakatnya huqqatan (2 ekor unta berusia 3 tahun atau lebih).

k.      Apabila lebih dari jumlah 120, maka setiap 40 ekor zakatnya ibnah labun dan setiap 50 ekor huqqah.[22]

Jenis hewan ternak yang dikenakan wajib zakat dan disebutkan secara tegas dalam hadits dan kitab-kitab fikih ialah kambing, sapi/kerbau, dan unta. Sebagaimana tanaman dan buah-buahan yang telah dijelaskan sebelumnya, ketiga jenis hewan ternak ini juga merupakan komoditas utama peternakan masyarakat Arab.

Dari ketiga jenis hewan yang disebutkan secara tegas di atas dua di antaranya adalah hewan yang sangat populer dalam masyarakat Arab, yaitu kambing dan unta, sedangkan sapi/kerbau kurang popeler dan populasinya relatif kecil karena kurang didukung oleh faktor alam.

Menarik untuk memperhatikan perbadingan antara zakat emas, kambing, dan unta dalam neraca perekonomian seseorang. Apabila kewajiban zakat emas dengan nisab 85 gram dan harta taksiran emas saat ini Rp 300.000,- maka nilai yang terkena wajib zakat ialah Rp 28.200.000,- batas minimal nisab kambing ialah 40 ekor dengan taksiran harga Rp 700.000,- yang berarti batas minimal nilai wajib zakatnya ialah Rp. 28.000.000,- batas minimal nisab unta ialah 5 ekor dengan taksiran harga Rp 7.000.000,- yang berarti batas minimal wajib zakatnya ialah Rp 35.000.000,-. Terhadap emas dikenakan zakat 2½ % (Rp 28.200.000,- x 2½ % = Rp 705.000,-), 40 ekor kambing zakatnya 1 ekor kambing (Rp 700.000,- = 2½ %), dan atas 5 ekor unta zakatnya 1 ekor kambing yang dinilai Rp 700.000,- (seharusnya Rp 875.000,- apabila diperhitungkan dengan nilai zakat 2½ % ).

Apabila diperhatikan lebih jauh ternyata nilai toleransi terhadap zakat yang dikeluarkan atas 40 ekor kambing tersebut sangat besar, yaitu hingga 120 ekor (Rp 28.000.000,- hingga Rp 84.000.000,-), dan atas 5 ekor unta hingga 9 ekor (Rp 35.000.000,- hingga Rp 63.000.000,-), sementara zakat yang wajib dikeluarkan atas emas adalah 2½ % dari yang dimiliki tanpa batas toleransi.

Berdasarkan telaah di atas, menurut penulis, perlu dilakukan peninjauan ulang atas kesenjangan nilai yang wajib dizakatkan antara emas yang secara mutlak sebesar 2½ % dari nominalnya dan kambing hingga berjumlah 120 ekor atau unta hingga berjumlah 9 ekor yang hanya dikenakan zakat 1 ekor kambing.[23] Kesenjangan tersebut jelas berdampak pada rasa kurang seimbang dan kurang adil atas model penentuan ukuran yang wajib dizakatkan.

Konsekwensi dari perhitungan di atas ialah apabila seorang peternak yang memiliki 120 ekor kambing dan mengeluarkan 1 ekor kambing sebagai zakat maka peternak tersebut telah melakukan kewajiban dan hartanya telah dinilai bersih. Apabila setelah mengeluarkan zakat ia menjual sebagian atau seluruh kambing yang dimilikinya maka ia tidak perlu mengeluarkan zakat atas hasil penjualan hewan yang telah dizakatinya.

Terhadap hewan-hewan selain dari yang telah dijelaskan di atas harus dibedakan antara hewan yang menjadi komoditas utama suatu daerah dan yang bukan, atas hewan yang menjadi komoditas utama suatu daerah dikenakan zakat apabila mencapai nisab dan haul atas jenis hewan itu sendiri, sedangkan atas hewan yang bukan komoditas utama tidak dikenakan zakat atas jenisnya, tetapi dikenakan zakat atas hasilnya. Besarnya zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2½ %.

Harta Perdagangan
Harta perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nisab dan haulnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (البقرة: 267)

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"[24].

Kemudian dijelaskan pula oleh Hadits yang menyatakan:

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ. [25]

“Dari Samurah bin Jundub r.a berkata; Nabi Saw bersabda: pernah memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan zakat dari hasil perdagangan”.

Imam Jashas menyatakan bahwa menurut ulama salaf yang dimaksud dengan “hasil usaha kalian” dalam ayat di atas adalah hasil usaha perdagangan.[26]

Menurut jumhur ulama, harta perdagangan baru terkena wajib zakat apabila nisab dan haulnya telah tercapai. Dasar dari kewajiban tersebut juga disandarkan kepada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 267 seperti telah disebutkan dimuka. 

Pengeluaran zakat perdagangan dilakukan apabila sudah mencapai satu tahun sesudah tutup buku dan mencapai satu nisab, yaitu seharga 20 misqal, tegasnya 85 gram emas atau menurut Bazda Provinsi Jambi 92 gram emas murni, adapun kadar pungutan zakatnya sebanyak 2,5 %. Perhitungan yang sama juga berlaku terhadap harta benda lancar yang terdiri dari uang kertas, uang di bank, dan obligasi.[27]

Harta Rikaz dan Ma’din
Yang termasuk harta rikaz adalah; harta yang terpendam atau tersimpan, termasuk ke dalam harta rikaz ini antara lain berbagai macam harta benda yang disimpan oleh orang-orang terdahulu di dalam tanah, seperti: emas, perak, tembaga dan lain-lain. Dalam kitab-kitab fikih, rikaz ini sering disebut dengan dafn al-Jahiliyyah, atau juga dikenal dengan sebutan harta Karun. Sedangkan yang dimaksud dengan ma’din yaitu; sesuatu pemberian bumi yang terbentuk dari benda lain tetapi berharga.[28]

Mengenai harta rikaz (harta terpendam), para ulama telah menetapkan bahwa orang yang menemukan benda-benda itu diwajibkan mengeluarkan zakatnya seperlima bagian (20 %). Pendapat ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Abi Hurairah yang mengatakan bahwa harta rikaz, harus dikeluarkan zakatnya seperlima bagian (20 %).

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعَجْمَاءُ جُبَارٌ وَالْبِئْرُ جُبَارٌ وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ. [29]

 “Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, memberitahu kepada kami Malik dari Ibn Syihab, dari Sa’id bin Musayyab dan dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, dari Abi Hurairah, semoga Allah SWT meridhai mereka, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada denda (diyat) pada yang terbunuh atau terluka oleh binatang buas, atau karena jatuh ke dalam telaga atau karena menggali tambang, dan mengenai rikaz zakatnya seperlima bagian“.  

Menurut Abu Hanifah, Ahmad dan Malik, zakat harta rikaz itu wajib baik sedikit ataupun banyak tanpa syarat nisab. Sedangkan menurut Syafi’i, dalam pendapatnya yang baru (qaul al-Jadid) diperhitungkan nisabnya. Adapun mengenai haulnya semua ulama sependapat bahwa dalam rikaz tidak disyaratkan haul.[30]

Mengenai harta ma’din ulama sependapat bahwa harta ma’din itu harus dikeluarkan zakatnya. Yang mereka perdebatkan adalah jenis ma’din (barang tambang) yang harus mereka keluarkan zakatnya. Maliki dan Syafi’i membatasi bahwa barang tambang yang harus dikeluarkan zakatnya itu hanya emas dan perak. Abu Hanifah dan sahabatnya berpendapat bahwa setiap barang tambang yang diolah dengan api wajib dikeluarkan zakatnya. Golongan Hanbali berpendapat bahwa tidak ada beda antara yang diolah dengan api dan yang diolah bukan dengan api. Barang tambang yang dikeluarkan zakatnya adalah semua pemberian bumi yang terbentuk dari unsur lain, tetapi berharga.[31]

Ke empat ulama di atas sependapat bahwa untuk harta ma’din tidak diperhitungkan hasil atau waktu setahun penuh, tetapi wajib dikeluarkan zakatnya di saat adanya, seperti tanaman. Adapun mengenai nisabnya, Syafi’i, Maliki dan Ahmad  berpendapat bahwa barang tambang yang dizakatkan itu harus mencapai satu nisab uang, yaitu: 20 mitsqal untuk emas dan 200 dirham untuk perak. Ketiganya sependapat bahwa kadar zakatnya sebanyak satu perempat puluh (1/40). Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa untuk harta ma’din tidak ada nisab, dan kadar zakatnya satu perlima (1/5).[32]

4.      Hasil Laut

Jumhur ulama berpendapat bahwa hasil lautan berupa mutiara, merjan, ikan dan lain-lain tidak wajib zakat, kecuali menurut salah satu riwayat Ahmad. Ia berpendapat bahwa hasil lautan wajib dikeluarkan zakatnya, apabila sampai satu nisab.[33]

Yusuf al-Qardhawi menjelaskan perbedaaan pendapat para fukaha atas hasil laut tersebut dan mengatakan bahwa perbedaan pendapat bahkan telah terjadi sejak masa sahabat Jabir ibn Abdullah dan Ibn Abbas dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa hasil laut tidak dikenakan wajib zakat, dan ibn Abbas pada kesempatan lain menyatakan bahwa wajib dikeluarkan sebesar 20 %,[34] sementara Umar ibn al-Khaththab pernah memerintahkan untuk mengambil zakat atas hasil laut sebesar 10 %, karenanya menurut Yusuf al-Qardhawi, kalau pendapat para sahabat tersebut dapat dijadikan landasan hukum berarti kadar wajib zakat tersebut termasuk wilayah yang boleh dilakukan ijtihad atasnya, karena, berdasarkan pendapat yang berkembang dari para sahabat bahwa hasil laut harus dikeluarkan zakatnya sebesar 20 % sebagaimana halnya rikaz, atau 10 % sebagaimana tanam-tanaman, atau 2 ½ % sebagaimana zakat kekayaan.[35]

Hasil Profesi
Yusuf al-Qardhawi memakai istilah “kasbul ‘amal wa al-mihan al-hurrah”. Yang di maksud dengan "kasbul ‘amal" adalah pekerjaan seseorang yang terikat (tunduk) dengan yang lain, baik pemerintah, pada perseroan ataupun perseorangan dengan mendapat upah, untuk mengerjakan sesuatu, baik dengan tangan, akal, ataupun kelebihan (keahlian) seseorang, maupun dengan jabatan yang mendapat upah dan bonus. Sedangkan yang di maksud dengan "al-mihan al-hurrah" adalah pekerjaan bebas, tidak terikat dengan orang lain, seperti pekerjaan seorang dokter swasta, pemborong, pengacara, seniman, penjahit, tukang kayu dan lain sebagainya.[36]

Lebih jauh dikatakannya bahwa zakat profesi termasuk dalam kategori zakat harta (mal) yang masuk dalam al-mal al-mustafad, yaitu: kekayaan yang diperoleh oleh seorang muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai dengan syari’at Islam.[37] Al-Mal al-Mustafad sudah disepakati oleh jumhur ulama untuk wajib dikenakan zakat apa bila nisabnya sudah sampai. Tetapi ditemukan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah haulnya.

Abu Hanifah berpendapat bahwa harta hasil profesi dikeluarkan zakatnya bila mencapai masa setahun penuh pada pemiliknya, kecuali si pemilik mempunyai harta sejenis yang pada permulaan tahun mencapai satu nisab, maka harta tersebut dipungut zakatnya bersamaan dengan harta yang sudah ada itu mencapai satu tahun. Malik berpendapat bahwa harta penghasilan tidak dikeluarkan zakatnya sampai penuh waktu satu tahun, baik harta tersebut sejenis dengan harta yang sudah dimiliki pemiliknya atau tidak. Sedangkan Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa harta penghasilan itu dikeluarkan zakatnya bila mencapai waktu setahun, meskipun ia memilki harta sejenis yang sudah cukup nisab.[38]

Menurut Yusuf al-Qardhawi gaji pegawai, upah buruh, penghasilan dokter, pengacara, pemborong dan penghasilan modal di luar perdagangan, penyewaan mobil, perahu, penerbangan, hotel dan lain sebagainya, wajib dikeluarkan zakat dan tidak disyaratkan harus sampai satu tahun, akan tetapi dikeluarkan pada waktu menerima pendapatan tersebut. Dalil yang digunakannya adalah: pertama, keumuman ayat 267 dari surat al-baqarah, bahwa hal itu termasuk dalam kasb al-tayyib yang wajib diinfakkan (zakat), oleh karena itu infak wajib termasuk didalamnya semua orang mukmin yang disebutkan pada surat al-baqarah ayat 3, kedua, Islam tidak menggambarkan dalam haknya untuk mewajibkan zakat atas petani yang memiliki 5 wasaq, sebagaimana seorang dokter yang memgobati pasien dalam 1 hari saja, penghasilannya sama dengan hasil yang diterima oleh petani selama 1 tahun.[39] 

Pendapat yang sama dipakai oleh Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) Provinsi Jambi yang menyatakan bahwa gaji pegawai, upah buruh, honorium seniman, penghasilan dokter dan lain sebagainya, apabila diperhitungkan secara komulatif selama satu tahun sudah mencapai satu nisab, maka harus dikenakan zakat. Nisabnya diukur dengan harga 92 gram emas musrni dengan zakat 2,5 %.[40]



[1]Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islami wa ‘Adillatuhu, h. 755.

[2]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 586-587.

[3]Muhammad Ja’far, Tuntunan Ibadah Zakat, Puasa dan Haji, (Malang: Kalam Mulia, 1985), h. 73.

[4]Mahyuddin bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu' ala syarah al-Muhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 229.

[5]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah , h. 126-127. 

[6]Wahbah al-Zuhaili, Fqh Islam.., h. 287.

[7]Anonim, al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 283.

[8]Muslim, Shahih Muslim, juz II, h. 680.

[9]1 dirham = 2,975 gram perak = 200 dirham = 595 gram, 1 dinar = 4,25 gram emas; 20 dinar = 85 gram, Lihat: Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 260.

[10]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,  h. 31-32.

[11]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 350.

[12]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah  h. 352.

[13]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, h. 353-354.

[14]Anonim, al-Qur'an dan Terjemahnya,  h. 212.

[15]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 50.

[16]Muhammad al-Syaukani, op.cit., h. 188.

[17]Zakat tanaman yang disirami/diairi sebanyak 5 % dan tanaman tadah hujan sebanyak 10 %, lihat: Bukhari hadits nomor 1388, Muslim hadits nomor 1630, Turmudzi hadits nomor 578, dan al-Nasa'i hadits nomor 2442, dan jenis tanaman dan buah-buahan yang dikenakan zakat ialah al-hinthah, al-Sya'ir, al-Tamar, al-Zabib. Lihat: Mausu'ah al-Hadits al-Syarif, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Kitab: Musnad al-Ansyar, Bab: Hadits Mu'adz ibn jabal, hadits nomor 20985, dalam sunan Ibn Majah menambahkan al-Dzurrah. Lihat: Mausu'ah al-Hadits al-Syarif, Sunan Ibn majah, Kitab: al-Zakah, Bab: Ma Tajibu fih al-Zakah min al-Amwal, hadits nomor 1805.

[18]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, loc.Cit.

[19]Sayyid Sabiq, op.cit., h. 71

[20]Mausu'ah, Shahih Muslim, op.cit., (Kitab: الزكاة, Bab: تغليظ عقوبة من لا يؤدي الزكاة, hadits nomor 1652)

[21]Sayyid Sabiq, op.cit., h. 72-81. 

[22]Ibid., h. 308-309.

[23]Apabila jumlah kambing seseorang berjumlah 120 ekor dan ia mengeluarkan zakatnya 1 ekor kambing maka nilai yang dikeluarkannya tersebut adalah 0.8334 %, apabila yang ia miliki 9 ekor unta maka nilai yang dikeluarkannya tersebut adalah 1.111115%.

[24]Anonim, al-Qur'an dan Terjemahnya,  op.cit., h. 67.

[25]Sunan Abi Daud, Kitab: الزكاة, Bab: العروض إذا كانت للتجارة هل هيها من زكاة, hadits nomor 1335.

[26]Al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabi, tt), Jilid I, h. 543.  

[27]Anonim, Panduan Praktis Amil Zakat, (Jambi: Bazda Provinsi Jambi, 2000), h. 10.

[28]Ungkapan “sesuatu pemberian bumi” berarti bukan sesuatu pemberian laut dan bukan pula simpanan manusia. Dan ungkapan “terbentuk dari benda lain”, berarti bukan tanah dan lumpur, karena keduanya adalah bagian dari bumi. Sebagai contoh ma’din yaitu: emas, perak, timah, besi, intan batu permata dan batu bara. Begitu juga barang tambang cair, seperti: minyak bumi, belerang dan lain-lain. Lihat: Ibnu al-Qudamah, op.cit., Jilid III, h. 23.

[29]Al-Bukhari, op.cit., juz II, h. 545. Lihat pula: Muslim, Shahih Muslim, op.cit., juz III, h. 1334.

[30]Sayid Sabiq, op.cit., h. 39.   

[31]Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, op.cit., h. 438-439.

[32]Sayid Sabiq, loc.cit.

[33]Ibid, h. 319.

[34]Lihat: Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th.), juz VI, h. 117, lihat pula; Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakah, op.cit., h. 456.

[35]Lihat: ibid., h. 457.

[36]Ibid, h. 506-507.

[37]Ibid, h. 489-490.

[38]Ibid, h. 504.

[39]Ibid, h. 506-507.

[40]Anonim, Panduan Praktis Amil Zakat, h. 17.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " PENERIMA ZAKAT DAN JENIS HARTA YANG WAJIB DIZAKATKAN"

Posting Komentar